Friday, August 29, 2025

*Telikungan Zionisme Global dalam Sejarah Kepemimpinan NU*

HARTABUTA :

Sabtu, 30-8-2025.

Sumber :

Alumni PPMH Malang. 

Di tengah hiruk pikuk politik nasional dan tantangan keumatan yang tak kunjung usai, sebuah kabar dari jantung kepemimpinan Nahdlatul Ulama (NU) menyentak kesadaran kolektif. Kabar itu bukan tentang fatwa fikih atau

program pemberdayaan ekonomi, melainkan tentang kehadiran tiga sosok intelektual asing—Peter Berkowitz, Swapan Dasgupta, dan Os Guinness—sebagai pembicara dalam Akademi Kepemimpinan Nasional yang digelar oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).


Bagi sebagian kalangan, ini mungkin tampak seperti agenda biasa: sebuah organisasi Islam terbesar di dunia membuka diri pada dialog lintas batas, sebuah cerminan dari Islam Nusantara yang kosmopolit dan moderat. Namun, bagi mereka yang menelisik lebih dalam, yang membaca rekam jejak dan afiliasi ideologis para tamu terhormat ini, acara tersebut terasa seperti sebuah paradoks yang menusuk; sebuah *telikungan*—manuver tajam dan tak terduga—yang berisiko mengaburkan garis demarkasi ideologis yang telah dijaga NU selama hampir satu abad.


Kehadiran trio ini bukanlah sekadar pertukaran gagasan. Ia adalah simbol dari sebuah operasi senyap, sebuah infiltrasi *soft power* yang dilakukan oleh jejaring Zionisme global untuk menembus benteng pertahanan moral terakhir umat Islam di panggung dunia: Nahdlatul Ulama. Mengapa ini disebut "telikungan"? Karena ia datang bukan melalui konfrontasi, melainkan melalui pintu yang dibuka sendiri oleh tuan rumah, dengan menggunakan narasi-narasi yang selama ini justru menjadi kebanggaan NU: dialog, moderasi, dan kemanusiaan. Ini adalah esai untuk membongkar anatomi dari manuver tersebut, menelusuri akarnya dalam sejarah, dan merefleksikan implikasinya bagi masa depan NU dan Indonesia.


*Bab I: Akar Sejarah - NU, Palestina, dan Spirit Anti-Kolonialisme*


Untuk memahami betapa problematiknya peristiwa ini, kita harus menarik mundur jarum jam sejarah ke titik pijak perjuangan Nahdlatul Ulama. NU tidak lahir di ruang hampa. Ia adalah anak kandung dari pergulatan melawan kolonialisme. Para *muassis* (pendiri) NU, yang dipimpin oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari, menanamkan spirit *hubbul wathan minal iman* (cinta tanah air adalah bagian dari iman) bukan sebagai slogan kosong, melainkan sebagai teologi perlawanan terhadap penindasan.


Sikap anti-kolonialisme ini secara alamiah meluas melampaui batas-batas Nusantara. Solidaritas NU terhadap bangsa-bangsa terjajah adalah sebuah keniscayaan ideologis. Palestina, dalam konteks ini, menempati posisi yang istimewa. Jauh sebelum negara Israel berdiri, ketika proyek Zionisme baru berupa cita-cita politik yang didukung oleh kekuatan kolonial Inggris, para kiai NU telah menunjukkan kepekaan dan kewaspadaan yang luar biasa.


Momen historis yang paling monumental adalah *Muktamar NU ke-13 di Menes, Banten, pada tahun 1938*. Dalam forum terhormat itu, para ulama NU tidak hanya membahas masalah-masalah keagamaan domestik. Mereka secara spesifik membahas nasib Palestina. Muktamar tersebut menghasilkan sebuah keputusan bersejarah: menyerukan kepada umat Islam untuk melakukan penggalangan dana (*tabarru’*) guna membantu perjuangan rakyat Palestina melawan ekspansi Zionis yang didukung Mandat Britania. Ini bukan sekadar simpati kemanusiaan; ini adalah sikap politik yang jelas, sebuah pengakuan bahwa Zionisme adalah sebuah bentuk kolonialisme baru yang mengancam tanah suci dan menindas penduduk pribumi.


Sikap ini terus konsisten sepanjang sejarah. NU menjadi tulang punggung moral bagi kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas aktif dan pro-kemerdekaan Palestina, sejalan dengan amanat Pembukaan UUD 1945 yang menentang segala bentuk penjajahan di atas dunia. Bagi NU, isu Palestina bukanlah sekadar konflik agama antara Islam dan Yahudi. Ia adalah isu *keadilan, kemanusiaan, dan perlawanan terhadap kolonialisme modern* dalam bentuknya yang paling brutal: *settler-colonialism* (kolonialisme pemukim), di mana populasi pendatang secara sistematis menggantikan dan menyingkirkan populasi asli.


Memahami akar sejarah ini sangat krusial. Ia menunjukkan bahwa keberpihakan NU pada Palestina bukanlah tren sesaat atau sentimen populis, melainkan bagian integral dari DNA ideologisnya. Ia adalah perwujudan dari *khittah* perjuangan yang diwariskan para pendiri. Maka, ketika PBNU hari ini menggelar karpet merah untuk tokoh-tokoh yang rekam jejaknya adalah memberikan legitimasi intelektual dan politik bagi proyek kolonialisme tersebut, pertanyaan yang muncul bukanlah "mengapa tidak boleh berdialog?", melainkan "apakah kita sedang mengkhianati sejarah perjuangan kita sendiri?".


*Bab II: Membedah Tiga Duta - Intelektual, Politisi, dan Teolog Pro-Zionis*


Untuk membuktikan bahwa ini bukan sekadar tuduhan berlebihan, mari kita bedah profil ketiga tamu tersebut. Mereka bukanlah akademisi netral yang datang untuk berdiskusi secara objektif. Mereka adalah bagian dari sebuah ekosistem intelektual dan politik global yang secara aktif bekerja untuk memenangkan narasi pro-Israel.


1. *Peter Berkowitz: Wajah Akademik Legitimator Zionisme*

    Berkowitz adalah seorang intelektual dari **Hoover Institution**, sebuah *think tank* konservatif terkemuka di Amerika Serikat yang dikenal sebagai salah satu pusat pemikiran pro-Israel. Ia juga pernah menjabat sebagai Direktur Staf Perencanaan Kebijakan di Departemen Luar Negeri AS. Perannya bukanlah sebagai peneliti pasif, melainkan sebagai produsen argumen. Tulisan-tulisannya secara konsisten membela kebijakan-kebijakan Israel, termasuk yang paling kontroversial sekalipun, sambil mendelegitimasi perjuangan Palestina. Ia adalah contoh sempurna dari seorang "akademisi-aktivis" yang menggunakan jubah keilmuan untuk memberikan pembenaran rasional atas sebuah proyek politik yang pada dasarnya tidak adil. Mengundangnya ke forum kepemimpinan NU sama artinya dengan memberikan panggung bagi narasi yang selama ini digunakan untuk menjustifikasi pendudukan, aneksasi, dan blokade terhadap rakyat Palestina. Ini bukan dialog, ini adalah platform bagi *hasbara* (propaganda pro-Israel).


2. *Swapan Dasgupta: Wajah Aliansi Politik Kanan Global*

    Dasgupta adalah seorang jurnalis dan politisi senior dari India yang berafiliasi dengan Partai Bharatiya Janata (BJP), partai pengusung ideologi nasionalisme Hindu (*Hindutva*). Dasgupta adalah pendukung vokal aliansi strategis antara India di bawah BJP dan Israel. Aliansi ini dibangun di atas narasi bersama: perjuangan melawan "terorisme Islam". Dalam kerangka ini, penindasan Israel terhadap Palestina dan kebijakan diskriminatif India terhadap Muslim di negaranya dilihat sebagai perjuangan yang paralel. Kehadiran Dasgupta dalam forum NU sangat ironis. Ia merepresentasikan persekutuan global antara rezim-rezim etno-nasionalis sayap kanan yang menjadikan Islam sebagai musuh bersama. Mengundangnya berarti mengabaikan fakta bahwa model politik yang ia anut secara langsung mengancam komunitas Muslim di negaranya sendiri dan secara tidak langsung memberikan justifikasi bagi penindasan di Palestina. Ini adalah upaya untuk menormalisasi aliansi politik yang secara fundamental bertentangan dengan prinsip *ukhuwah Islamiyah* (persaudaraan Islam) dan keadilan universal.


3. *Os Guinness: Wajah Teologis-Peradaban yang Halus*

    Profil Os Guinness mungkin yang paling subtil, namun tak kalah signifikan. Sebagai seorang kritikus sosial dan teolog, ia bergerak dalam lingkaran intelektual Kristen evangelis dan konservatif di Barat. Kelompok ini, secara historis dan teologis, merupakan pendukung paling fanatik bagi negara Israel. Dukungan mereka seringkali berakar pada interpretasi eskatologis Alkitab (teologi Dispensasionalisme) yang melihat berdirinya Israel sebagai pemenuhan nubuatan ilahi. Meskipun Guinness sendiri mungkin tidak selalu menggunakan argumen teologis mentah, kehadirannya mewakili upaya untuk membangun jembatan di atas landasan "nilai-nilai peradaban" bersama yang pada akhirnya bermuara pada dukungan terhadap tatanan global yang dipimpin Barat, di mana Israel menjadi garda terdepan (*outpost*) di Timur Tengah. Ini adalah pendekatan yang lebih halus, membingkai dukungan untuk Israel bukan sebagai politik kotor, melainkan sebagai bagian dari pertahanan peradaban "Judeo-Christian" dari ancaman-ancaman lain.


Secara kolektif, kehadiran ketiganya bukanlah sebuah kebetulan. Mereka merepresentasikan serangan tiga cabang (*three-pronged attack*) terhadap benteng NU: *legitimasi akademik (Berkowitz), aliansi politik-strategis (Dasgupta), dan justifikasi nilai-peradaban (Guinness)*.


*Bab III: Anatomi "Telikungan" - Kooptasi Narasi Moderasi dan Kemanusiaan*


Di sinilah letak kecerdasan manuver Zionisme global. Mereka tidak lagi datang dengan wajah militeristik yang angkuh. Mereka datang dengan wajah yang tersenyum, membawa narasi yang sangat akrab di telinga NU: dialog, toleransi, moderasi, dan kemanusiaan. Inilah inti dari "telikungan" tersebut.


*Pertama, Kooptasi Bahasa.* Jejaring pro-Israel secara sistematis telah mempelajari DNA organisasi seperti NU. Mereka tahu bahwa kekuatan terbesar NU adalah narasi moderasi (*wasathiyyah*), toleransi (*tasamuh*), dan keseimbangan (*tawazun*). Maka, narasi inilah yang mereka gunakan sebagai Kuda Troya. Mereka datang dan berkata, "Jika kalian benar-benar moderat dan terbuka, mengapa kalian tidak mau berdialog dengan kami? Mengapa kalian menutup pintu bagi pandangan yang berbeda?". Pertanyaan ini adalah jebakan. Ia secara licik menyamakan dialog dengan Zionis—sebuah ideologi politik kolonial—dengan dialog antaragama atau antarbudaya yang tulus. Ia menempatkan NU pada posisi defensif: menolak dialog akan dicap sebagai fundamentalis dan tertutup; menerima dialog berarti memberikan legitimasi pada ideologi penindasan.


*Kedua, Menggeser Isu dari Politik ke Kemanusiaan Abstrak.* Strategi lainnya adalah dengan membingkai ulang konflik Palestina-Israel. Dari yang semula adalah *isu pembebasan nasional melawan kolonialisme*, digeser menjadi *isu konflik komunal* yang membutuhkan "dialog antar dua pihak yang setara" atau isu *"kemanusiaan"* yang abstrak. Dengan mengundang tokoh-tokoh ini atas nama kemanusiaan dan perdamaian, PBNU secara tidak sadar telah jatuh ke dalam perangkap ini. Mereka membantu proses depolitisasi isu Palestina, mengaburkan akar masalahnya, yaitu pendudukan dan apartheid yang sistematis. Zionisme bukanlah sekadar "pandangan berbeda" yang layak didengar dalam seminar. Ia adalah sebuah aparatus kekuasaan yang setiap hari merampas tanah, menghancurkan rumah, dan membunuh warga sipil. Memberinya panggung atas nama "kemanusiaan" adalah sebuah ironi yang menyakitkan.


*Ketiga, Menargetkan Generasi Penerus.* Pilihan untuk menyelenggarakan acara ini dalam format "Akademi Kepemimpinan Nasional" sangatlah strategis. Targetnya bukan para kiai sepuh yang keyakinannya sudah mengakar kuat. Targetnya adalah kader-kader muda, calon pemimpin NU di masa depan. Tujuannya adalah menanamkan benih keraguan dan perspektif baru di benak mereka. Harapannya, generasi pemimpin NU mendatang akan menjadi generasi yang lebih "pragmatis" dan "terbuka", yang melihat isu Palestina bukan lagi sebagai perjuangan hitam-putih antara penjajah dan yang terjajah, melainkan sebagai sebuah "konflik kompleks" di mana "kedua belah pihak memiliki kesalahan". Jika misi ini berhasil, maka NU sebagai kekuatan moral pembela Palestina akan lumpuh dari dalam, tanpa perlu satu peluru pun ditembakkan.


Seringkali, pembelaan atas acara semacam ini akan merujuk pada langkah kontroversial *Gus Dur* yang pernah membuka wacana hubungan diplomatik dengan Israel. Namun, perbandingan ini ahistoris dan keliru. Langkah Gus Dur, betapapun kontroversialnya, lahir dari posisi sebagai Presiden sebuah negara berdaulat dan didasari oleh sebuah keyakinan strategis—yang bisa diperdebatkan—bahwa dialog langsung bisa lebih efektif membantu terwujudnya kemerdekaan Palestina. Gus Dur tidak pernah mengundang para ideolog Zionis untuk mengajari kader-kader NU tentang kepemimpinan. Ia bertindak dari posisi kekuatan (*position of strength*) untuk tujuan yang jelas: kemerdekaan Palestina. Apa yang terjadi saat ini adalah sebaliknya: PBNU bertindak dari posisi sebagai penerima (*receiver*) narasi, memberikan panggung kepada para pendukung status quo penindasan, tanpa tujuan strategis yang jelas bagi Palestina.


*Bab IV: Implikasi dan Jalan ke Depan - Menjaga Khittah di Persimpangan Global*


Tindakan PBNU ini, jika tidak dikoreksi, akan membawa implikasi yang sangat serius.


* *Secara Internal:* Akan terjadi erosi kepercayaan yang mendalam antara *jamaah* (warga NU) di akar rumput dengan para elite *jam'iyyah* (organisasi) di tingkat pusat. Warga Nahdliyin, yang selama ini mewakafkan ketaatan dan kecintaannya pada para kiai dan PBNU, akan merasa dikhianati. Soliditas organisasi bisa terancam.

* *Secara Nasional:* NU adalah salah satu pilar utama yang menjaga arah kebijakan luar negeri Indonesia terkait Palestina. Jika NU mulai goyah dan mengirimkan sinyal ambigu, ini akan melemahkan posisi Indonesia di panggung internasional dan memberikan amunisi bagi kelompok-kelompok domestik yang ingin menormalisasi hubungan dengan Israel.

* *Secara Internasional:* Citra NU sebagai representasi Islam moderat yang damai namun tegas dalam membela keadilan akan tercoreng. NU berisiko dilihat bukan lagi sebagai subjek yang mandiri, melainkan sebagai objek atau bahkan alat bagi kepentingan geopolitik lain. Ambisi PBNU untuk "memperkenalkan Islam Nusantara ke dunia" bisa menjadi bumerang jika dunia melihatnya sebagai Islam yang telah berkompromi dengan penindasan.


Lalu, apa yang harus dilakukan? Kritik yang dilancarkan saat ini bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan wujud *mahabbah* (cinta) dan kepedulian terhadap marwah organisasi. Ini adalah panggilan untuk *muhasabah*, untuk introspeksi.


PBNU harus menyadari bahwa menjadi pemain global tidak berarti harus kehilangan kompas moral. Keterbukaan dan dialog adalah pisau bermata dua; tanpa landasan ideologis yang kokoh dan kewaspadaan tingkat tinggi, ia bisa menjadi pintu bagi infiltrasi dan kooptasi.


Ke depan, PBNU perlu melakukan beberapa hal. *Pertama*, memberikan penjelasan yang transparan dan jujur kepada publik dan warganya mengenai latar belakang dan tujuan acara ini.*Kedua*, secara tegas dan tidak ambigu, menegaskan kembali komitmen historis NU terhadap kemerdekaan Palestina dan penolakan terhadap segala bentuk kolonialisme Zionis.*Ketiga*, membangun mekanisme *screening* ideologis yang lebih ketat dalam setiap kerja sama internasional, agar tidak lagi kecolongan mengundang tokoh-tokoh yang rekam jejaknya bertentangan dengan prinsip dasar perjuangan NU.


Pada akhirnya, Nahdlatul Ulama berada di sebuah persimpangan krusial. Satu jalan menawarkan citra global yang gemerlap, undangan ke forum-forum internasional, dan pujian sebagai "mitra moderat"—namun dengan harga kompromi pada prinsip-prinsip keadilan. Jalan yang lain adalah jalan yang lebih senyap, yang mungkin tidak selalu populer di mata kekuatan dunia, yaitu jalan para *salafus shalih*: tetap istikamah memegang teguh prinsip kebenaran dan keadilan, menjadi suara bagi mereka yang tertindas, sekalipun harus melawan arus.


*Telikungan* Zionisme ini adalah sebuah ujian. Ujian bagi ketajaman analisis, kekokohan prinsip, dan kesetiaan pada sejarah. Bagaimana PBNU merespons ujian ini akan menentukan tidak hanya masa depan hubungannya dengan Palestina, tetapi juga masa depan jiwanya sendiri.


و الحمد للّه ربّ العالمين

صلّى اللّه على محمّد

0 comments:

Post a Comment