HARTABUTA :
Rabu, 21-11-2023.
Pangeran Wangsakerta :
Video 1. https://www.youtube.com/watch?v=seNvYIsNhpA&pp=ygUdc2lsc2lsYWggcGFuZ2VyYW4gd2FuZ3Nha2VydGE%3D
Video 2. https://www.youtube.com/watch?v=IEM7DCj2ASc&pp=ygUdc2lsc2lsYWggcGFuZ2VyYW4gd2FuZ3Nha2VydGE%3D
Video 3. https://www.youtube.com/watch?v=HNdlCU6roI0&pp=ygUdc2lsc2lsYWggcGFuZ2VyYW4gd2FuZ3Nha2VydGE%3D
Versi RA. Linawati :
• Nabi Muhammad SAW
• Fatimah Az-Zahra
• Al-Imam Sayyidina Hussain
• Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin
• Sayyidina Muhammad Al Baqir
• Sayyidina Ja’far As-Sodiq
• Sayyid Al-Imam Ali Uradhi
• Sayyid Muhammad An-Naqib
• Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi
• Ahmad al-Muhajir
• Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah
• Sayyid Alawi Awwal
• Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah
• Sayyid Alawi Ats-Tsani
• Sayyid Ali Kholi’ Qosam
• Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)
• Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut)
• Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir
• Sayyid Abdullah Al-’Azhomatu Khan
• Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad Jalaludin Al-Khan
• Sayyid Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Al-Khan
• Sayyid Ali Nurul Alam @ Sayyid Ali Nuruddin Al Khan bergelar Ratu Baniisrail
• Sayyid Abdullah Umadtuddin / Sultan Hud Mesir
• Syarif Hidayatullah / Sunan Gunung Jati Cirebon
• Panembahan Pasarean / Pangeran Muhammad Tajul Arifin
• Panembahan Sedang Kemuning / Pangeran Moch. Carbon
• Panembahan Ratu Cirebon I
• Panembahan Mande Gayam / Panembahan Wira Adipati Anom
• Panembahan Ratu Cirebon II / Panembahan Girilaya
• Pangeran Wangsakerta / Panembahan Gusti ( Keraton Kacirebonan )
Versi Wikipedia :
https://id.wikipedia.org/wiki/Naskah_Wangsakerta
Naskah Wangsakerta
![]() | Gaya atau nada penulisan artikel ini tidak mengikuti gaya dan nada penulisan ensiklopedis yang diberlakukan di Wikipedia. |
Naskah Wangsakerta adalah sekumpulan naskah yang diklaim sebagai disusun oleh sebuah panitia yang dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta dari Cirebon. Naskah ini diklaim telah disusun sejak abad ke-17, atau sekitar tahun 1677 s/d 1698 jika menurut keterangan sepihak yang tertulis di dalamnya. Setidaknya perpustakaan Kesultanan Cirebon mengoleksi 1703 judul naskah, yang 1213 di antaranya diklaim merupakan karya Pangeran Wangsakerta beserta timnya.
Naskah ini dianggap kontroversial karena ditolak para akademisi Indonesia, dikarenakan isinya sama dengan pandangan/tulisan para arkeolog dan sejarawan Belanda abad 20. Naskah kontroversial ini kini tersimpan di Museum Sri Baduga di Bandung.[1]
Isi naskah
Naskah-naskah yang diduga dihasilkan oleh panitia Wangsakerta ini dibagi menjadi beberapa naskah, yang masing-masing berjudul:
- Pustaka Nagarakretabhumi
- Pustaka Dwipantaraparwa
- Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa
- Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara
- Pustaka Carita Parahyangan i Bhumi Jawa Kulwan
- Pustaka Samastabhuwana
Naskah-naskah yang disusun oleh panitia Wangsakerta terbuat dari bahan kertas daluang dengan sampul kertas karton dibungkus kain blacu putih dan warna kecoklat-coklatan, tinta berwarna hitam, ukuran aksaranya 5 mm. Menggunakan bahasa dan aksara Jawa yang terkesan dikuno-kunokan.
Panitia Wangsakerta
Dalam pengantar setiap Naskah Wangsakerta selalu diinformasikan mengenai proses dibuatnya naskah-naskah tersebut. Panitia yang dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta ini dimaksudkan untuk memenuhi permintaan/amanat ayahnya, Panembahan Girilaya, agar Pangeran Wangsakerta menyusun naskah kisah kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Panitia didirikan untuk mengadakan suatu gotrasawala (simposium/seminar) antara para ahli (sejarah) dari seluruh Nusantara, yang hasilnya disusun dan ditulis menjadi naskah-naskah yang sekarang dikenal sebagai Naskah Wangsakerta. Gotrasawala ini berlangsung pada tahun 1599 Saka (1677 M), sedangkan penyusunan naskah-naskahnya menghabiskan waktu hingga 21 tahun selesai 1620 Saka (1698 M).
Kontradiksi sejarah
Naskah ini dianggap dibuat pada abad ke-17, namun para ahli meragukannya dan naskah ini bisa jadi dibuat pada 1960-an. Karya naskah-naskah yang dihasilkan panitia Wangsakerta walaupun memakai aksara Jawa Kuno sebagaimana huruf yang umum di abad ke-17, tetapi sejatinya tulisan itu meniru penulisan aksara Jawa Kuno dengan gagal. Hal itu dapat ditunjukkan dari naskah-naskah yang ditemukan pada 1970-an, tidak memuat informasi tambahan terkait temuan sejarawan pada dekade berikutnya (1980-an hingga sekarang).[2]
Di dalam Naskah Wangsakerta selalu dijumpai istilah Jawa Kulwan, Jawa Madya dan Jawa Wetan. Menurut konteksnya memang yang dimaksud dengan istilah itu ialah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang mana pembagian adminsitratif semacam itu belum terjadi dalam abad ke-17.[2]
Sesuai penelitian yang dilakukan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), umur kertas berusia sekitar 100 tahun, dihitung dari tahun 1988 saat naskah-naskah itu diuji. Naskah yang dibeli dan disimpan di Museum Sri Baduga adalah salinan yang baru ditulis sekitar abad 19, padahal di dalam naskah itu sendiri tertulis telah disusun sejak tahun 1677 dan selesai tahun 1698.[2]
Prof. Dr. M.C. Ricklefs, guru besar sejarah dari Monash University menjelaskan bahwa ia pernah melihat naskah-naskah tersebut di Museum Sri Baduga dan ia menyatakan bahwa dilihat dari penulisan aksara yang "kasar", menunjukkan bahwa itu adalah naskah baru, bukan naskah yang berasal dari abad ke-17. Ia mempertanyakan mengapa naskah-naskah ini, yang menurutnya palsu, dipergunakan sebagai sumber oleh sejarawan dari Indonesia. Permasalahan yang menarik ialah setelah beredarnya kontroversi naskah ini, kini mencuat kembali karena naskah Wangsakerta dipergunakan dalam menyusun sumber sejarah Indonesia.[2] Dengan melakukan kritik ekstern terhadap Naskah Wangsakerta, menunjukkan naskah ini bukan sejarah yang otentik, sebagai sumber untuk menyusun sejarah Indonesia. Oleh karenanya, nilai sejarah yang diberikan dari Naskah Wangsakerta tersebut sangat lemah.[2]
Kontroversi
Ditemukannya naskah Wangsakerta pada awal tahun 1970-an, selain menimbulkan kegembiraan dan kekaguman akan kelengkapannya, untuk banyak pihak justru menimbulkan keraguan dan kecurigaan, bahkan para sarjana dan ahli sejarah menduga bahwa naskah ini aspal (asli tetapi palsu). Di antara alasan-alasan yang meragukan naskah ini, yaitu:
- Terlalu historis, isinya tidak umum sebagaimana naskah-naskah sezaman (babad, kidung, tambo, hikayat);
- Tidak ada catatan mengenai siapa saja anggota panitia Wangsakerta;
- Tidak ada sumber-sumber dari kerajaan Indonesia maupun dari VOC tentang adanya pertemuan para "ahli sejarah" (Panitia Wangsakerta),pada abad ke-17;
- Cocoknya isi naskah dengan karya-karya sarjana Barat (J. G. de Casparis, N. J. Krom, Eugene Dubois dsb.), sehingga ada dugaan bahwa naskah ini disusun dengan merujuk pada karya para ahli tersebut (tidak dibuat abad ke-17). Bahkan penyusun Wangsakerta itu juga melakukan kekeliruan yang sama dengan apa yang pernah dibuat oleh De Casparis, yang terungkap setelah ditemukan bukti baru;[3]
- Kurangnya keterangan tentang kerajaan Tarumanagara, persis seperti yang didapati di sejarah modern.[3] Jika naskah Wangsakerta bisa menyebutkan adanya kerajaan Salakanagara (yang menurut naskah Wangsakerta lebih tua daripada Tarumanagara) beserta urutan raja-rajanya dengan runtut, seharusnya naskah ini juga terdapat keterangan tentang Tarumanagara dengan lebih terperinci daripada sejarah modern;
- Bahasa Jawa kuno yang dipakai terkesan dikuno-kunokan dan tidak mewakili bahasa akhir abad ke-17. Karena para wali yang hidup pada abad ke-15 pun sudah menggunakan bahasa Jawa baru;[3]
- Keadaan fisik naskah (kertas/daluang, tinta, bangunan aksara) menunjukkan naskah yang dijadikan rujukan merupakan salinan dan tulisannya kasar, tidak seperti naskah lama pada umumnya.[4]
Catatan kaki
- Kondisi fisik naskah sudah diteliti. Lihat Lubis (2002). Humaniora XIV:20-26
Rujukan
- Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-330-5
- Edi S. Ekajati. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-329-1
Kajian Versi Ini :
http://majapahit1478.blogspot.com/2013/12/kitab-wangsakerta-itu-ternyata-palsu.html?m=1
Dinyatakan Palsu.
Kitab Wangsakerta itu ternyata Palsu Majapahit | Majapahit Blog
MAJAPAHIT 1478. Berawal dari permintaan seorang sahabat blogger yang meminta saya untuk menguraikan hubungan antara Dyah Pitaloka dengan Dara Petak dan Perang Bubat, mulailah aku mencari referensi ke sana kemari dan akhirnya ketemulah sebuah Kitab Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara karangan Pangeran Wangsakerta dari kerajaan Carbon.
Terus terang saya sangat meragukan kebenaran isi dari kitab tersebut terutama bila kita kaitkan dengan isi beberapa prasasti (terutama prasasti Balawi) ataupun kitab-kitab lainnya (Negarakretagama dan Pararaton). Berawal dari kecurigaan tersebut, akhirnya aku lakukan langkah-langkah googling, dan hasilnya membuat aku mengurungkan niat untuk menulis artikel tersebut, karena sebab yang berikut ini :
NASKAH ITU TERNYATA PALSU.
SYAHDAN, tersebutlah Pangeran Wangsakerta, putra bungsu Panembahan Adiningkusuma, penguasa Keraton Cirebon pada abad ke-17. Berbeda dengan kedua kakaknya, konon si bungsu lebih suka menggauli ilmu pengetahuan ketimbang soal politik dan kenegaraan.
Pada masa itulah, sekitar 1677, atas desakan politik Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, Cirebon terbelah menjadi tiga. Pangeran tertua, Syamsudin Mertawijaya, diangkat menjadi Sultan Sepuh, dan berkuasa di Keraton Kasepuhan. Adiknya, Pangeran Badridin Kertajaya, dipromosikan menjadi Sultan Anom.
Keduanya punya kedaulatan politik atas sebuah wilayah. Pangeran Wangsakerta, alias Tohpati, sendiri hanya mendapat jabatan fungsional, sebagai panembahan di Puri Keprabonan. Kekuasaan politiknya tak seberapa besar. Tugas utama Wangsakerta adalah menjadi penasihat kedua kesultanan itu.
Namun, Panembahan Wangsakerta lebih terkenal. Ia disebut meninggalkan warisan berupa naskah-naskah sejarah yang disebut Kitab Wangsakerta. Semua naskah itu kini tersimpan di Museum Sejarah Jawa Barat, di Bandung. Sejak dua tahun lalu, sebagian naskah itu telah selesai diterjemahkan dan dibukukan oleh Lembaga Sundanologi, yang bernaung di bawah Kanwil P dan K Jawa Barat.
Namun, banyak ahli yang meragukan keaslian naskah itu. Puncaknya, bulan lalu (September 1988) diselenggarakan diskusi-panel sejarah di Universitas Tarumanagara, Jakarta. Sebagian besar sejarawan dan arkeolog yang hadir dalam diskusi sehari itu menyangsikan Kitab Wangsakerta tersebut.
Naskah itu dianggap terlalu lengkap dan cermat untuk bisa dikatakan berasal dari masa yang hampir 300 tahun silam. Buntutnya, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) menurunkan tim penyidik ke Museum Bandung. Lebih dari separuh naskah Wangsakerta yang ada diambil sebagai contoh penyidikan. Kertas, aksara, dan bahasa dalam naskah itu diteliti secara cermat. Penyidikan itu rampung pekan lalu (bulan Oktober 1988).
Hasilnya, “Naskah-naskah itu palsu,” ujar Drs. Suwendi Montana, ketua tim penyidik Arkenas itu. Drs. Atja, bekas kepala museum sejarah Bandung, adalah orang pertama yang menemukan Kitab Wangsakerta itu, di awal tahun 1970-an. Ketika itu dia tengah mencari bahan acuan untuk menyusun buku Sejarah Cirebon.
Dalam pencarian itu, Atja mengaku bertemu dengan pedagang barang antik yang bersedia memasok buku-buku kuno eks Keraton Cirebon. Lewat pedagang, satu demi satu naskah “tua” itu mengalir ke rak Museum Bandung. Warisan Pangeran Wangsakerta itu ada 52 kitab, terbagi dalam tiga serial.
Yang pertama berjudul Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara (PRBN), 25 buku. Kitab kedua berjudul Negarakretabhumi, juga 25 buku, dan sisanya terangkum pada kitab Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa. Naskah-naskah itu, konon, disusun oleh sebuah panitia yang beranggotakan cendekiawan dari berbagai negeri yang diundang dan diketuai oleh Wangsakerta.
Arkeolog senior UI, Boechari, 61 tahun, sempat terperanjat membaca kitab PRPBN temuan Atja itu. Ada keanehan di situ. Raja Mataram Kuno, Panangkaran, yang berkuasa di akhir abad ke-8, disebut dengan nama Sri Maharaja Tejahpurnapana Panangkaran. Padahal, nama lengkap putra Prabu Sanjaya itu baru dikenal dalam khazanah sejarah tahun 1950. Sebelumnya, sejarah mencatat nama raja Mataram itu sebagai Dyah Pancapanna Panangkara.
Nama baru itu terungkap dari penelitian sejarawan Belanda, De Casparis, untuk disertasinya, setelah ia mempelajari bukti-bukti sejarah terbaru. Boechari mencatat, dalam banyak hal Kitab Wangsakerta itu sejalan dengan teori-teori De Casparis. Yang lebih aneh, bahkan penyusun Wangsakerta itu juga melakukan kekeliruan yang sama dengan apa yang pernah dibuat oleh De Casparis, yang terungkap setelah ditemukan bukti baru.
Boechari mengupas sejumlah kejanggalan lain. Lantaran banyak keanehan itu, ahli epigrafi dari UI itu sudah lama yakin betul bahwa naskah-naskah Wangsakerta itu palsu. “Ini skandal ilmiah. Panitia Wangsakerta itu tak pernah ada,” ujarnya. Kelengkapan naskah Wangsakerta itu juga sempat membuat Prof. Soekmono, ahli sejarah Arkenas, geleng-geleng kepala.
Peristiwa sejarah pada naskah itu ditulis secara runtut tanpa cela, dengan peneraan tahun yang cermat. Ini malah mengundang rasa curiga. “Berat rasanya untuk mempercayai bahwa naskah itu asli,” ujar guru besar arkeologi UI itu. Satu hal yang perlu dicatat, naskah Cirebon itu tak banyak mengulas soal Kerajaan Tarumanegara.
Sejarah Tarumanegara tak menjadi lebih terang pada kitab Wangsakerta. Kegelapan sejarah Tarumanegara juga terjadi pada khazanah sejarah modern. Tampak ada korelasi di antara keduanya. “Naskah Wangsakerta itu menyontek sejarah modern,” kata seorang sejarawan UI yang tak mau disebut namanya.
Atja berang mendengar naskah temuannya dikatakan palsu. “Kalau bangsa sendiri menemukan disepelekan, tapi bila orang Barat yang mendapatkannya dianggap patut dipercaya,” ujarnya. Tentang kelengkapan materi kitab Cirebon itu, “Bukan urusan penemunya, kalau memang penulisnya sudah maju, mau bilang apa,” ujar Atja.
Setiap naskah Wangsakerta itu berbentuk buku, dan ditulis pada daluwang, kertas kuno yang terbuat dari kayu. Pada masa itu, daluwang buatan Cina, kabarnya, telah diperdagangkan di Nusantara. Tebal buku bervariasi. Negarakretabhumi bagian dua misalnya, terdiri atas 98 lembar daluwang 32,5 cm X 22 cm.
Naskah ditulis dalam bahasa Jawa kuno, dan dirampungkan tahun 1693. Kitab-kitab “tua” itu, kata Atja, dibeli dengan harga Rp 1 – 2,5 juta per naskah. Dananya diambil dari APBD atau APBN lewat Proyek Sundanologi. Siapa pemilik naskah itu, dia tak tahu-menahu, lantaran pihak pialang tak bersedia mengungkapkannya.
“Memang begitu kode etik mereka,” ujar Atja, yang kini mengajar di Arkeologi Unpad. Asikin, penduduk Pegambiran, Cirebon, adalah yang mengaku memasok naskah itu ke Atja, sejak tahun 1972. Tentang pemiliknya, Asikin tak bersedia menyebutnya. Yang terang, dia mengaku menerima komisi antara Rp 300 dan Rp 800 ribu untuk setiap transaksi.
Aslikah naskah itu ? “Ah, itu kan urusan para ahli,” ujar Asikin. Tapi sesepuh Puri Keprabonan, Cirebon, Pangeran Sulaeman Sulendraningrat, 74 tahun, tak meragukan keaslian naskah “kuno” itu. Semasa hidup, tutur Sulaeman, Panembahan Wangsakerta memang pernah memprakarsai pembentukan tim ahli untuk menulis sejarah Nusantara.
Anggota tim itu diambil dari beberapa negeri. Tak hanya cendekiawan Jawa saja yang datang tutur Sulaeman, konon ada pula cendekiawan yang datang dari Kesultanan Trengganu, Pahang, keduanya di Malaysia. Di Cirebon mereka berkumpul, berdiskusi, dan menulis sejarah selama 21 tahun, dengan berbekal 1.800-an catatan kepustakaan.
Anehnya, proyek prestisius ini tak disebut-sebut dalam Babad Cirebon, yang sebagaimana umumnya babad, semestinya mencatat peristiwa penting. Tapi, menurut Sulaeman, itu memang kehendak Wangsakerta sendiri, supaya naskah agung itu luput dari jamahan kompeni Belanda.
"Kalau pihak kompeni tahu, naskah itu pasti dimusnahkan. Agar mereka mudah memutarbalikkan sejarah kita,” kata pangeran itu.
Tapi tim Arkenas menemukan bukti lain. Ketika lembaran daluwang itu digosok dengan jari berludah, ternyata warna abu-abunya luntur. Di baliknya, terdapat warna hijau atau merah muda : kertas manila.
Bahasa Jawa kuno yang dipakai pun, menurut ketua tim, kelewat dikuno-kunokan, sehingga malah tak mewakili bahasa akhir abad ke-17. “Para wali yang hidup di abad ke-15 menggunakan bahasa Jawa baru,” tutur ketua tim penyidik itu. Peristiwa ini sangat disesalkan oleh Direktur Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Uka Tjandrasasmita. Katanya, “Bila terdapat unsur penipuannya, kami akan lapor ke Polisi.”
Putut Tri Husodo, Ahmadie Thaha (Jakarta), Hasan Syukur dan Riza Sofyat (Biro Bandung)
(majalah.tempointeraktif.com/22 Oktober 1988)
Sumber : http://hurahura.wordpress.com/2010/05/25/naskah-itu-ternyata-palsu/
Kajian FB trah Brawijoyo V :
https://web.facebook.com/reel/786529209731898
- Balas
- Bagikan
- Diedit
- Balas
- Lihat Terjemahan
- Bagikan
- Balas
- Bagikan
- Balas
- Bagikan
- Balas
- Bagikan
- Balas
- Bagikan
- Balas
- Bagikan
- Balas
- Bagikan
- Balas
- Bagikan
- Balas
- Bagikan
- Balas
- Bagikan
- Balas
- Bagikan
- Balas
- Bagikan
- Balas
- Bagikan
- Balas
- Bagikan
- Balas
- Bagikan
- Balas
- Bagikan
- Balas
- Bagikan
- Balas
- Bagikan
![👍](https://static.xx.fbcdn.net/images/emoji.php/v9/t55/1.5/16/1f44d.png)
![🙏](https://static.xx.fbcdn.net/images/emoji.php/v9/td9/1.5/16/1f64f.png)
![🙏](https://static.xx.fbcdn.net/images/emoji.php/v9/td9/1.5/16/1f64f.png)
![🤔](https://static.xx.fbcdn.net/images/emoji.php/v9/t8d/1.5/16/1f914.png)
![🙏](https://static.xx.fbcdn.net/images/emoji.php/v9/td9/1.5/16/1f64f.png)
0 comments:
Post a Comment