Saturday, April 26, 2025

JEJAK RUHANI DI PANGGUNG KEKUASAAN: SUFISME POLITIK DARI SAMARKAND KE NUSANTARA*

HARTABUTA :

Sabtu, 25-4-2025.

[25/4 10.05] +62 812-: https://www.facebook.com/share/p/1A8N4Prnij/

_(Tulisan sederhana sebagai ikhtiar menterjemahkan Konsep Nawa Mustika (9 Mutiara Hikmah) Jatman NU dari Mudir Idarah 'Aliyah Jatman NU, *Prof. Dr. KH. Ali Masykur Musa*)_

Oleh: *Abdur Rahman El Syarif*


*BAB IV.* (Lanjutan) 

*JALUR SUTRA RUHANI:  PERJALANAN SUNYI KE ARAH MASYRIQ*


4.4. Di Turki Utsmani: Naqsyabandiyah Khalidiyah dan Kebangkitan Islam Institusional


*Sufisme Politik Era Sultan Sulaiman al-Qanuni*


Dalam sejarah Kesultanan Utsmani, masa pemerintahan Sultan Sulaiman al-Qanuni (1520–1566) adalah puncak dari kejayaan imperial, tidak hanya dalam ekspansi teritorial dan reformasi hukum, tetapi juga dalam penguatan spiritualitas umat melalui institusionalisasi Islam yang terinspirasi oleh Sufisme. Di balik kesibukan medan tempur dan diplomasi kekaisaran, ada denyut ruhani yang senyap namun kuat: gerakan Naqsyabandiyah Khalidiyah, sebuah cabang dari Thariqah Naqsyabandiyah yang kelak memainkan peran penting dalam lanskap keislaman Utsmani.


Meskipun Naqsyabandiyah Khalidiyah baru mencapai bentuk formalnya pada awal abad ke-19 melalui tokoh pembaharu, Syaikh Khalid al-Baghdadi (1779–1827), fondasi spiritual dan sistematika gerakan ini telah berakar dalam pendekatan Naqsyabandiyah klasik sejak era Utsmani awal. Gagasan-gagasan pembaruan Khalidiyah yakni keseimbangan antara batin yang disiplin dan lahir yang terlibat aktif dalam dunia memiliki resonansi kuat dengan visi Sultan Sulaiman yang menjadikan syariat sebagai ruh dari hukum negara (qanun).


Sultan Sulaiman dikenal memiliki kedekatan dengan para ulama dan sufi, terutama yang mampu memberikan legitimasi spiritual terhadap misinya sebagai "Zillullah fil Ard" (Bayangan Tuhan di Bumi). Hubungan antara Sulaiman dan tokoh-tokoh sufi, seperti Yahya Efendi (seorang mursyid yang sangat dihormati di Istanbul), mencerminkan simbiosis antara kekuasaan dan spiritualitas. Yahya Efendi, seorang sufi independen namun berpengaruh, dikenal sebagai guru ruhani dari putra Sultan, Pangeran Mustafa. Ia juga terlibat dalam wacana keagamaan publik dan membentuk opini spiritual di kalangan rakyat.


Pada masa Sulaiman Al Qanuni, peran tarekat sangat strategis, bukan sekadar komunitas spiritual eksklusif, tetapi sebagai jaringan sosial yang menyentuh kehidupan rakyat dari pasar-pasar Istanbul hingga madrasah-madrasah di Anatolia. Tarekat seperti Naqsyabandiyah dan Qadiriyah membentuk jaringan khaniqah dan zawiyah yang menjadi pusat dakwah, pendidikan, serta pelayanan sosial. Model institusionalisasi ini menjadi pendukung kuat legitimasi moral Kesultanan.


Walaupun Khalidiyah sebagai identitas tarekat baru muncul belakangan, prinsip-prinsipnya telah hidup dalam sistem Utsmani: khalwat dar anjuman (menyepi di tengah keramaian), nazar bar qadam (menjaga kesadaran ruhani), serta semangat keterlibatan sosial-politik dalam bingkai ketakwaan dan akhlak. Para sufi tidak memisahkan antara ibadah dan negara, antara zikir dan kebijakan.


Pengaruh para sufi pada rakyat terasa dalam bentuk kosmologi spiritual yang membumi: kehadiran wali di tengah masyarakat sebagai pelindung tak kasat mata, kisah karamah yang membentuk etos kerja dan moralitas, serta keyakinan bahwa kekuasaan sejati bersumber dari ketundukan kepada Tuhan. Ini membentuk sistem nilai yang menyokong stabilitas negara dan menyalakan api ruhani di tengah kekuasaan yang luas.


*Syaikh Yahya Efendi: Sang Penjaga Ruhani Kekuasaan*


Di balik layar kekuasaan yang megah dan kompleks dalam era Sultan Sulaiman al-Qanuni, terdapat seorang sufi terpandang yang diam-diam membentuk arah spiritual kerajaan: Syaikh Yahya Efendi (1494–1571). Ia dikenal sebagai "Wali dari Besiktas" dan dijuluki Shaykh al-Islam al-Rabbani oleh para muridnya. 


Yahya Efendi bukan hanya ulama dan sufi besar, melainkan juga sahabat masa kecil Sultan Sulaiman, karena keduanya dibesarkan dalam lingkungan istana, ibunda mereka memiliki kedekatan khusus.


Setelah menempuh pendidikan tinggi di madrasah-madrasah terkemuka dan menguasai ilmu tafsir, hadis, dan tasawuf, Yahya Efendi memilih jalan khalwat menyepi di wilayah bukit-bukit di tepi Bosphorus. Namun penyepiannya justru menarik perhatian banyak murid, bangsawan, bahkan Sultan sendiri. Ia kemudian membangun zawiyah dan membimbing ribuan jiwa, menjadikannya sebagai salah satu pusat ruhani paling berpengaruh di Istanbul kala itu.


Kedekatan emosional dan spiritual Yahya Efendi dengan Sultan membuatnya menjadi penasihat yang didengar bukan karena jabatan, melainkan karena wibawa ruhani. Ia dikenal berani menasihati Sultan, bahkan saat keputusan politik sangat sensitif. Salah satu kisah paling terkenal adalah ketika Sultan hendak menghukum mati Pangeran Mustafa, putra tertuanya, karena tuduhan makar. Yahya Efendi mengirim surat penuh peringatan, menyampaikan bahwa “kebenaran bukan selalu datang dari bisikan kekuasaan, melainkan dari kejernihan hati.”


Meski tidak berhasil mencegah tragedi itu, posisi Yahya Efendi sebagai suara nurani istana tetap diakui. Ia bukan oposan, tapi juga bukan penjilat kekuasaan. Ia adalah manifestasi alim rabbani ulama yang membumi dan sekaligus menjulang dalam cahaya ruhani.


Halaqah Yahya Efendi kerap digambarkan berlangsung di teras zawiyahnya yang menghadap Selat Bosphorus. Di sanalah, Sultan kadang hadir incognito, hanya sebagai "murid yang mencari makna". Dengan pakaian sederhana dan sorban kecil, Sulaiman duduk bersila bersama para murid, menyimak tafsir ayat-ayat tentang keadilan, amanah, dan zuhud. Dialog mereka konon sunyi, namun sarat makna:


Sultan: “Wahai Syaikhku, bagaimana seseorang memerintah dengan adil ketika hawa nafsunya berbisik setiap saat?”


Yahya Efendi: “Ia harus menaklukkan tahtanya terlebih dahulu di dalam batinnya, baru kemudian ia pantas duduk di atasnya di dunia luar.”


Dalam satu momen lainnya, Yahya Efendi memberikan perumpamaan yang membekas:


“Kekuasaanmu, wahai Sultan, seperti perahu di tengah badai. Tapi selama zikir adalah layar, dan takwa adalah jangkar, maka engkau tidak akan karam.”


*Ahlul Bait dari Jalur Imam Musa Al Kadzim (buka dari jalur Ubaidillah bin Isa Al Muhajir yang disinyalir fiktif)*


Syaikh Yahya Efendi lahir pada tahun 1494 M di Trabzon, wilayah pesisir Laut Hitam yang kala itu menjadi pusat penting Utsmani. Ia dikenal dengan nama lengkap Yahya bin Yusuf Efendi. Ayahnya, Yusuf Efendi, adalah seorang alim terpandang dan pengajar di wilayah Anatolia Timur. Ibundanya, Afife Hatun, konon merupakan pengasuh dari Hafsa Sultan, ibunda Sultan Sulaiman, yang menjelaskan kedekatan Yahya Efendi dengan istana sejak masa kecil.


Dalam tradisi lisan sufi dan rakyat Istanbul, Yahya Efendi dikaitkan sebagai keturunan Ahlul Bait dari jalur Imam Musa al-Kazhim, walaupun sumber tertulisnya sangat terbatas. Namun keyakinan atas keturunan ruhani melalui adab, akhlak, dan ilmu, lebih menonjol dari pada sekadar silsilah biologis.


Yahya Efendi memperoleh pendidikan tinggi di madrasah-madrasah elite Istanbul. Ia belajar di bawah para ulama besar seperti: Molla Lutfi, ahli logika dan filsafat Islam, Shamsuddin Fanari, cendekiawan sufi dan mufassir, serta belajar langsung dalam majelis ulama di bawah otoritas Syaikhul Islam Zambilli Ali Efendi.


Namun yang paling memengaruhi jalannya sebagai sufi adalah pertemuannya dengan seorang mursyid besar dari jalur Qadiriyah dan Khalwatiyah, yang kemudian mengarahkannya untuk menjalani uzlah (khalwat) dan suluk ruhani. Di sinilah ia menggabungkan kekuatan ilmu syariat dengan kedalaman tarekat.


Setelah menyelesaikan pendidikan dan sempat menjadi mudarris (pengajar), Yahya Efendi memilih hidup zuhud dan membangun zawiyah di Besiktas, menghadap langsung ke Selat Bosphorus. Zawiyah ini bukan hanya tempat ibadah, tapi pusat spiritual, pendidikan, dan pembinaan moral masyarakat. 


Di sini, ia dikenal sebagai: Ahli tafsir yang puitis, dengan pendekatan ruhani terhadap ayat-ayat Qur'an, Penyusun risalah-risalah pendek, salah satunya dikenal berjudul Risalah fi Ma’rifatillah (tentang Pengenalan terhadap Allah), dan penulis syair-syair tasawuf dalam bahasa Turki Ottoman dan Persia.


Kedekatannya dengan Sultan Sulaiman bukan hanya relasi pribadi masa kecil, melainkan relasi intelektual dan spiritual yang saling menguatkan. Sultan acap kali berkonsultasi dengannya dalam keputusan-keputusan penting baik dalam hukum, tata kota, maupun persoalan keluarga kerajaan.


Dalam beberapa riwayat, Yahya Efendi dikenal sebagai orang yang tidak takut menyampaikan kebenaran. Ketika istana ingin memaksa fatwa yang mendukung pembunuhan Pangeran Mustafa, Yahya Efendi menolak dan menyampaikan pesan secara tersirat melalui 

Syair-syairnya. Ia menjadi suara hati kekhalifahan di masa ketika banyak ulama kehilangan keberanian.a

Makam Yahya Efendi di Besiktas hingga kini menjadi salah satu tempat ziarah paling ramai di Istanbul. Para pengunjung datang bukan hanya karena popularitasnya, tetapi karena mereka meyakini bahwa Yahya Efendi adalah wali besar yang menjadi perantara keberkahan dan ketenangan batin.


Ia dihormati oleh tarekat-tarekat seperti Qadiriyah, Halwatiyah, dan Naqsyabandiyah, meski tidak secara formal mewakili satu cabang. Model sufisme Yahya Efendi adalah inklusif, berorientasi pada ihsan dan akhlak mulia, serta mendekatkan raja pada rakyat melalui kesucian batin.


Setelah wafatnya, makam Yahya Efendi di Besiktas menjadi tempat ziarah para sultan dan rakyat jelata. Banyak sultan setelah Sulaiman masih mengunjungi maqamnya untuk memohon doa atau merenung dalam sunyi. Ia menjadi lambang sufi yang tidak mengejar kekuasaan, tapi justru dikejar oleh para penguasa yang haus akan bimbingan ruhani. 


[Bersambung ke Bab 4 (lanjutan)]


و الحمد للّه ربّ العالمين

صلّى اللّه على محمّد

0 comments:

Post a Comment