Friday, December 1, 2023

Panembahan Jogorogo & Sang Iateei Ratu Mas Pamancingan Ngawi Jawa Timur, Dzurriyyah Raden Patsh/ Sultan Syah Alam Akbar

HARTABUTA :

Sabtu, 2-12-2023.

Bagian I

[2/12 01.13] SUHU PSPB RONGGOLAWEZ21: Panembahan Jogorogo ing Pemancingan + Ratu Mas Pemancingan binti Sultan Trenggono bin Raden Patah/ Sultan Syah Alam Akbar

https://www.facebook.com/groups/327670604460/permalink/10159219455319461/?mibextid=Nif5oz

SILSILAH KELUARGA  RAJA DEMAK BINTORO

A. RADEN PATAH RAJA DEMAK I

Raden Djoko Probo atau  Raden Patah adalah Putra dari Raja Majapahit Brawijaya V, Beliau menikah dengan Ratu Panggung  putri  Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manilo

Menurunkan :

1. Raden  Suryo  atau  Pangeran Sabrang Lor atau Adipati Unus ( Raja Demak II )

2. Raden Songko atau Pangeran Adipati  Anom atau Pangeran Sekar Sedo Lepen

3. Raden Trenggono

4. Raden Ayu Kirana  atau Ratu Mas Purnamasidi menikah dengan Panembahan Banten

5. Raden Ayu Wulan atau Ratu Mas Nyowo  menikah dengan Panembahan Cirebon

6. Raden Tangkowo atau Pangeran Kundurawan  menjadi Tumenggung di Sumenep

7. Raden Jaladara , meninggal muda

8. Raden Tedjo , Pangeran Pamekasan Madura 

9. Raden Alit atau Pangeran Sekar atau Pangeran Ragil ( leluhur  Ki Ageng Karang Lo )


B. RADEN SONGKO, PANGERAN SEKAR SEDO LEPEN

Raden Songko bergelar Pangeran Adipati Anom atau Pangeran Sekar Sedo Lepen atau Pangeran Sekar yang wafat di sungai. 

Menurunkan :

1. Pangeran Haryo Jipang atau Haryo Panangsang menikah dengan Putri Sunan Kudus

2. Ratu Timoer menikah dengan Panembahan Timur  Bupati Madiun I

3. Pangeran Haryo Mataram


C. SULTAN TRENGGONO  RAJA DEMAK III

Sultan Trenggono adalah Raja Demak ke tiga, Beliau adalah putra Raden Patah raja Demak I dari istrinya yang bernama Asyikah atau Ratu Panggung .Ratu  Asyikah adalah Putri Sunan Ampel.

Sultan Trenggana lahir pada tahun 1483 dan meninggal pada tahun 1546.

Sultan Trenggono mempunyai dua istri yaitu Kanjeng Ratu Pembayun ( Putri Sunan Kalijaga ) dan Putri  Nyai Ageng Maloko. 

Dari  Putri Nyai  Ageng Maloko  menurunkan :

1. Ratu Pembayun 

2. Sunan Prawoto

3. Ratu Mas Pemancingan  menikah dengan Panembahan Jogorogo ing Pemancingan

4. Retno Kencana ( Ratu Kalinyamat ) menikah dengan Pangeran Hadiri ( Penguasa Jepara )

5. Ratu Mas Ayu menikah dengan Pangeran  Orang Ayu putra Pangeran Wonokromo 

6. Ratu Mas Kumambang

Dari Kanjeng Ratu Pembayun ( Putri Sunan Kalijaga ) menurunkan : 

7. Pangeran Timur , Panembahan Madiun ,  Bupati I Kadipaten Madiun

8. Ratu Mas Cempaka , menjadi Permaisuri Sultan Hadiwijaya Pajang bergelar Ratu Mas Pajang.

9. Pangeran Tg Mangkurat ( dari Garwa Pangrembe)


Bagian II


[2/12 01.18] SUHU PSPB RONGGOLAWEZ21: Dzurriyyah Raden Patah/ Syah Alam Akbar

https://trahpanembahanwongsopati.blogspot.com/2010/09/menelusur-babad-wongsopati-di-klero.html?m=1


Trah Panembahan Wongsopati Ing Klero

Mudzakarah Trah Darah Pati Unus ing Sabrang Lor [Mijil ing Japara,1480-Syahid ing Selangor Malaysia,1521], Trah Darah Panembahan Wongsopati ing Klero [Sedha ing Klero,1680], Trah Brayat Ageng Kyai Karto Dreyan ing Kentheng [Sedha ing Kentheng,1943] dumugi Trah Kanjeng Raden Tumenggung Hasan Midaryo ing Kalasan [Mijil ing Prambanan,1921-Sedha ing Kalasan, 30 Maret 2004]


Selasa, 14 September 2010

Menelusur Babad Wongsopati di Klero Prambanan

I. TRAH

1. Trah Raden Patah Sultan Demak Bintoro-I

2. Trah Pati Unus Sabrang Lor-I ing Pulau Besar Selangor Malaysia

3. Trah Pangeran Haryo Pamungkas Sabrang Lor-II ing Demak Bintoro

4. Trah Panembahan Tejo Kusumo ing Jogorogo

5. Trah Ki Ageng Karang Lo ing Taji

6. Trah Adipati Tohpati ing Tulung

7. Trah Panembahan Wongsopati ing Klero

8. Trah Tumenggung Reksopati ing Klero

9. Trah Tumenggung Suto Menggolo ing Klero

10. Trah Mpu Klero-I Kyai Suto Wirono

11. Trah Mpu Klero-II Kyai Bongso Wirono

12. Trah Mpu Klero-III Kyai Joyo Wirono

13. Trah Raden Mas Rono Redjo ing Klero

14. Trah Mpu Klero-IV Kyai Karto Dreya Kentheng

15. Trah Mpu Klero-V Kyai Karto Sentono

16. Trah KRT. Hasan Midaryo Kalasan [RM. Bagus Saniyo]


Bila dirunut dari sanad silsilahnya, Trah Panembahan Wongsopati bermula dari darah Raden Patah atau Sultan Demak Bintoro-I dan melalui putrinya, Ratu Pembayun maka trah darah berlanjut ke jalur trah menantu Sultan Demak Bintoro-I yang kemudian menjadi Sultan Demak Bintoro-II, yakni Pati Unus Sabrang Lor-I. Dalam versi silsilah ini memang terdapat beberapa versi sanad silsilah berkaitan dengan Pangeran Sabrang Lor?

Bahwa, dalam Babad Tanah Jawi, disebutkan jika Pangeran Sabrang Lor merupakan putra Raden Patah atau Sultan Demak Bintoro-I, sedangkan dalam versi Babad Demak dan Babad Wali Songso justru disebutkan jika Pangeran Adipati Sabrang Lor-I atau Raden Maulana Abdul Qadir Al Idrus bin Adipati Jepara Maulana Muhammad Yunus Al Idrus Bin Syaikh Maulana Abdul Khaliqul Al Idrus dari Persia adalah suami dari Ratu Pembayun putri sulung Raden Patah.

Sedangkan, Pangeran Haryo Sasongko putra kedua Sultan Demak Bintoro-I bergelar Pangeran Sabrang Kulon, yang masa kehidupannya lebih banyak berhubungan diplomatis dengan kerajaan Islam di Jawa Barat pada masa itu yang dimaksud adalah Kasultanan Cirebon dan Kasultanan Banten, sehingga di beri gelar Adipati Sabrang Kulon .

Dari trah darah Pati Unus Pangeran Sabrang Lor-I atau Sultan Demak Bintoro-II selanjutnya kedudukan putra sulung Pangeran Sabrang Lor-I, yakni Pangeran Maulana Abdullah Haryo Pamungkas yang nantinya bergelar Pangeran sabrang Lor-II karena gugur dalam ekspedisi serangan Demak pada Portuguis ke Pulau Besar Malaka, maka trah darah Sultan berubah menjadi trah darah kusuman atau trah pangeran.

Selanjutnya, dari trah darah Pangeran Sabrang Lor-II Maulana Abdullah Al Idrus atau Pangeran Haryo Pamungkas berlanjut ke trah darah salah satu putranya yang bernama Pangeran Tejo Kusumo yang rupanya lebih mencintai jalan keagamaan dibandingkan derajat kerajaan Demak, sehingga Pangeran Tejo Kusumo berguru ke Ponorogo dan bergelar sebagai Panembahan Jogorogo-I. Maka, trah darah kusuman berubah menjadi trah darah panembahan atau istilah Jawa untuk menghormati tokoh keagamaan atau kebathinan Jawa.

Kemudian dari putra tertua Pangeran Tejo Kusumo atau Panembahan Jogorogo yang bernama Raden Haryo Wongso atau dikenal sebagai Ki Ageng Ampuhan dari Wod Waru [sekitar Prambanan] karena ilmu kesaktiannya, maka trah darah panembahan berubah menjadi trah darah ki agengan.

Dan berlanjut pada putra sulung Ki Ageng Ampuhan yang bernama Raden Wiro Wongso atau dikenal sebagai Ki Ageng karang Lo dari Tadji Prambanan.

Selanjutnya, dari putra ke-4 Ki Ageng Ampuhan yang bernama Raden Wongso Joyo yang mengabdikan diri ke Kasultanan Mataram hingga dilantik menjadi seorang Adipati di daerah Tulung bergelar Kanjeng Hadipati Tohpati ing Tulung. Hidup pada masa Babad Sengkolo ing Mataram ketika terjadinya geger perang Pangeran Truno Joyo dengan dukungan Laskar Madura melakukan makar di Kraton Mataram.

Paska Perang Truno Joyo, salah seorang putra Raden Wongso Joyo atau Hadipati Tohpati ing Tulung yang bernama raden Wongso Pati bersama beberapa anggota kerabat keluarga Tulung mengungsi ke daerah Wukir Sewu [Pegunungan Sewu di Prambanan] dan berganti jati diri atau Kelire Loro [Identitas Ganda, penyamaran dari putra Adipati menjadi petani] yang hingga kini kemudian dikenal sebagai tlatah Klero?.

Raden Wongsopati mengabdikan diri pada jalan keagaman dan kebathinan sehingga kemudian dikenal oleh masyarakat Prambanan dan Bayat sebagai Panembahan Wongsopati ing Wukir Kenaran, atau "Taken Aran" [mempertanyakan nama]. Adapun Wukir Kenaran dapat diperkirakan sebagai salah satu petilasan ketika Kanjeng Sunan Kali Jogo mengajarkan Ilmu Makrifat kepada Kanjeng Adipati Semarang, atau Pangeran Made Pandan yang bergelar Kanjeng Sunan Pandan Aran, atau Sunan Bayat.

Pada masanya, Panembahan Wongsopati menjadi salah satu pelindung keturunan Kanjeng Sunan Pandan Aran di Bayat, Klaten. hal tersebut merupakan amanat agung dari Kanjeng Sunan Kali Jogo di Kali Gajah Wong dekat Prambanan kepada Ki Ageng Karang Lo [Eyang Buyut Panembahan Wongsopati], Ki Gede Pemanahan, Ki Juru Mertani, Panembahan Senopati, dan Raden Kenthol Kuning atau salah satu cucu Sunan Bayat-I.

Panembahan Wongsopati wafat pada tahun 1680 dan dipusaraan di Sasanala Wongsopati Klero, Desa Sumber Harjo, Kec. Prambanan, Kab. Sleman , Jogjakarta.

Maka demikianlah sekilas kisah sang Cikal Bakal atau Pepundhen Klero yang bergelar Kanjeng Panembahan Wongsopati.

Selanjutnya, Trah Panembahan Wongsopati diteruskan melalui trah darah putranya yang bernama Raden Sopati atau Tumenggung Reksopati yang mengabdikan diri ke Kraton Mataram, dan diangkat sebagai Tumenggung Telik sandhi Mataram hingga wafatnya pada tahun 1709, dipusarakan di Sasanalaya Panembahan Wongsopati yang berada di Klero.

Trah darah Tumenggung Reksopati selanjutnya digantikan oleh trah darah putranya yang bernama Raden Suto Menggolo, yang juga meneruskan jejak Ayahandanya mengabdikan diri pada Kraton Mataram hingga berkedudukan sebagai Tumenggung Prajurit Sandhi Yudha Mataram. Tumenggung Suto Menggolo wafat pada tahun 1740 dan dipusarakan di Sasanalaya Panembahan Wongsopati Klero.

Generasi Trah darah Panembahan Wongsopati yang muncul selanjutnya adalah trah darah para Mpu atau Ki Ageng, antara lain :

1. Trah Mpu Klero-I Kyai Suto Wirono [wafat 1775]

2. Trah Mpu Klero-II Kyai Bongso Wirono [wafat 1805]

3. Trah Mpu Klero-III Kyai Joyo Wirono [wafat 1840]

4. Trah Mpu Klero-IV Raden Rono Redjo ing Klero [wafat 1885]

5. Trah Mpu Klero-V Kyai Karto Dreyan Kentheng [wafat 1943]

6. Trah Mpu Klero-VI Kyai Karto Sentono [wafat akhir 1950-an]

7. Trah KRT. Hasan Midaryo Kalasan [RM. Bagus Saniyo, 1921-2004]

Dari Trah Raden Mas Rono Redjo di Klero, kemudian pada generasi selanjutnya berkedudukan di dua tempat, yakni di Klero dan di Kentheng. Jika di renung sekilas, maka kedudukan Brayat Trah Wongsopaten Klero sebagai Kasepuhan dan Brayat Trah Wongsopaten Kentheng sebagai Kanomannya.

Dan seterusnya, berlanjut hingga pada generasi Trah Kyai Kartodreyan yang berkedudukan di Dusun Kentheng, Kenaran, Desa Sumber Harjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Jogjakarta.


II. BABAD

1. Babad Tanah Jawi

2. Babad Demak Pasisiran

3. Babad Wali Songo

4. Babad Pajang

5. Babad Mataram

6. Babad Panembahan Wongsopati

7. Babad Kyai Mpu Kenaran

8. Babad Kyai Mpu Karto Dreyan

8. Babad Kyai Hasan Midaryo Kalasan


III. PETILASAN

1. Petilasan Kanjeng Sunan Kali Jogo di Pegunungan Sewu Prambanan

2. Petilasan Pertapan Ki Juru Martani di Pegunungan Sewu

3. Petilasan Pertapan Kanjeng Kanjeng Panembahan Wongsopati di tlatah Wukir Kenaran

4. Petilasan Pertapan Kyai Tumenggung Reksopati di Pegunungan Kenaran

5. Petilasan Kyai Modjo II di Pegunungan Kenaran

6. Petilasan Dhampar Kanjeng Pangeran Tejo Kusumo di Sasanalaya Wetan Kentheng Kenaran

7. Petilasan Pertapan Kyai Mpu Karto Dreyan di Wetan Kentheng Kenaran

8. Petilasan Pertapan Kyai Kalasan di Sasanalaya Wetan Kentheng Kenaran


IV. SASANALAYA WONGSOPATI

1. Makam Cikal Bakal Trah Panembahan Wongsopati

2. Makam Trah Kyai Tumenggung Reksopati

3. Makam Trah Kyai Mpu Klero

4. Makam Trah Kyai Mpu Karto Dreyan

5. Makam Trah Kyai Mpu Karto Sentono

6. Makam Trah Kyai KRT. Hasan Midaryo Kalasan


V. WARISAN TRADISI TRAH WONGSOPATEN

1. Ajaran Filsafat Hidup Kejawen

2. Ilmu Patrap

3. Ilmu Tosan Aji

4. Ilmu Pencak Silat

5. Tradisi Syawalan Trah Brayat Ageng Kartodreyan

Mohon maaf atas segala kekurangan, serta mohon dukungan informasi yang berkaitan dengan Babad Klero dan Babad Kentheng. Matur sembah nuwun sanget.

Batawi Kidul, 15 September 2010


Ismu Daly

TRAH KRT. HASAN MIDARYO di


In Memoriam of Ismu Daly

TRAH KRT. HASAN MIDARYO

Blog ini diracik & didesikasikan Ismu Daly pada Eyang KRT. Hasan Midaryo sebagai wujud rasa cinta pada Keluarga & takzhim bathin pada Leluhur. Semoga blog ini jadi media motivasi generasi penerus agar tidak melupakan babad sejarah, sanad silsilah, cita-cita luhur para Pendahulu & menggalang eratnya silaturahim Ukhuwah Islamiyah dimanapun berada. Blog ini tidak dimaksud untuk mengkultus kederajatan keturunan, namun mengkaji sejarah perjalanan hidup para leluhur agar terbangun rasa kesadaran diri untuk lebih perduli pada persatuan Keluarga Besar melalui media Tradisi Leluhur, Kearifan Budaya, Kemuliaan Agama dan Pengembangan Warisan Kesejarahan para Pepundhen sebagai dasar membangun Kepribadian Jati Diri. "Cinta Kasih Sanak Saudara dan Paguyuban Keluarga Adalah Harta Karun Kehidupan", pesan Eyang KRT. Hasan Midaryo.


Bagian III


[2/12 01.19] SUHU PSPB RONGGOLAWEZ21: https://mediaseputarkita.com/2022/07/bupati-ngawi-ziarah-makam-adipati-kertonegoro-berikut-kisahnya-hingga-namanya-diabadikan/

SeputarKita, Ngawi – Menjelang hari jadi Ngawi yang ke 664, Bupati Ngawi Ony Anwar Harsono dan Wakil Bupati Dwi Riyanto Jatmiko beserta Forkopimda Ngawi diikuti pejabat dilingkup pemerintah kabupaten, lakukan ziarah makam leluhur. Acara yang telah menjadi tradisi ini mengawali dari serangkaian gelaran kegiatan dalam rangka merayakan ulang tahun kabupaten Ngawi.


Ziarah dan tabur bunga diawali di makam Adipati Kertonegoro yang berlokasi di desa Sine, kecamatan Sine. Lalu dilanjutkan ke makam Patih Ronggolono dan Putri Cempo di Jabalkadas, desa Hargomulyo, kecamatan Ngrambe.

Bupati Ngawi mengatakan, ziarah ini bertujuan untuk mendoakan para bupati Ngawi terdahulu yang telah gugur supaya senantiasa diberikan tempat terbaik di sisi Allah SWT sesuai dengan amal bakti. Sebagai penerus, Ony berharap bisa meneruskan apa yang menjadi cita-cita perjuangan, selalu istiqomah dan amanah

“Tujuan dari ziarah ini adalah mendoakan para bupati terdahulu yang telah gugur, para pendiri bangsa ini, senantiasa terus mendoakan para pemimpin kita supaya diberikan tempat terbaik di sisi Allah SWT sesuai dengan amal bakti. Kita selaku penerus ini semoga senantiasa bisa meneruskan apa yang menjadi cita-cita perjuangan beliau-beliau yang telah gugur, senantiasa istiqomah dan amanah” tutur Ony Anwar Harsono, Senin (04/07/2022).

Tentang Adipati Kertonegoro dan Patih Ronggolono, berikut adalah kisahnya hingga namanya diabadikan menjadi nama terminal di Kabupaten Ngawi.

Kanjeng Adipati Kertonegoro sendiri, adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah berdirinya kabupaten Ngawi, merupakan Bupati ke tiga pada periode 1834-1837. Hingga kemudian, oleh Pemerintah daerah namanya diabadikan menjadi nama terminal penumpang tipe A di Kabupaten Ngawi.

Menurut cerita rakyat, Kanjeng Adipati Kertonegoro adalah putra dari Ki Ageng Jogorogo, dari silsilahnya, Ki Ageng Jogorogo merupakan putra dari Panembahan Pamekasan di Madiun yang dikenal dengan sebutan Pangeran Purboyo, salah satu keturunan Sultan Patah pendiri kesultanan Demak.

Singkat cerita, Ki Ageng Jogorogo adalah sosok yang dikenal alim dan santun, dirinya sangat dihormati oleh masyarakat yang tinggal di tepian Bengawan Solo hingga daerah lereng gunung Lawu.

Suatu ketika, saat Ki Ageng Jogorogo sedang menunggui para petani yang menggarap lahannya di tepian bengawan Solo, berhentilah sebuah kapal besar yang konon dalam cerita, kapal tersebut sedang mengantarkan raja Mataram-Kartosuro memantau keadaan wilayah.

Dalam pertemuan itu, Sang Raja tampak simpatik dengan Ki Ageng Jogorogo dan memujinya mampu menjadi pemimpin cakap. Karena hal itu, kemudian dirinya diundang Sang Raja untuk menemuinya di kerajaan.

Sesuai titah Raja tersebut, Ki Ageng Jogorogo kemudian menghadap ke kerajaan lalu diberikanlah harta dan seorang perempuan untuk diperistri olehnya. Perempuan tersebut adalah Garwa Ampil (salah satu selir raja), pada masa lalu tradisi seperti ini adalah bentuk penghargaan Raja terhadap jasa-jasa seseorang.

Saat diserahkan sebagai Garwa Ampil, perempuan tersebut sudah dalam keadaan mengandung, yang beberapa bulan kemudian melahirkan seorang anak laki-laki. Sesuai pesan raja yang diamanatkan sebelumnya, Ki Ageng Jogorogo sepenuh hati merawat, mendidik dan menjaga anak tersebut layaknya keturunan sendiri.

Hingga pada saat usianya menginjak remaja, dia pun membawa sang anak ke kerajaan. Kemudian, sang Raja memberikan wilayah setingkat Kadipaten yang berkedudukan di Gendingan, bergelar Kanjeng Raden Tumenggung Anom (KRTA) Arya Kertonegoro.

Dalam kisahnya (masa dewasa Arya Kertonegoro), Adipati Kertonegoro berusaha menjalankan pemerintahan dengan sebaik-baiknya. Namun di sisi lain, lantaran ketidakjelasan batas wilayah, dirinya sering terlibat konflik dengan VOC yang berkedudukan di Karesidenan Magetan.

Kala itu, perselisihanpun memuncak hingga menimbulkan rasa saling benci antara kedua belah pihak. Oleh karena itu kemudian VOC bersekongkol dengan beberapa Adipati lain menyusun rencana untuk menghabisi Kanjeng Adipati Kertonegoro.

Dalam beberapa versi cerita menyebut, mereka kemudian mensiasatinya dengan mengundang Adipati Kertonegoro dalam acara hajatan pertunjukan tayub yang digelar di Ngawi. Pada saat itu, percobaan pembunuhanpun dilakukan, namun Kertonegoro mampu meloloskan diri.

Berbagai upaya dilakukan, berkat kegigihan Adipati Kertonegoro dalam mempertahankan wilayahnya, beberapa kali VOC dan pasukannya mencoba memasuki Kadipaten Gendingan tapi hasil akhirnya selalu gagal.

Suatu ketika, dalam satu pertempuran di tepian sungai, Panglima sekaligus Patih Gendingan, Ronggolono gugur karena pengkhianatan. Dari kejadian itu, Adipati Kertonegoro terpaksa menyingkir untuk kembali menyusun pasukannya yang telah tercerai – berai.

Setelah dianggap cukup kuat, Adipati Kertonegoro balik menyerang dan berhasil mengusir VOC dari Kadipaten Gendingan.

Namun sayang sekali, setelah menjumpai keadaan kadipaten yang telah porak poranda, Adipati Kertonegoro merasa tak sanggup untuk menjalankan pemerintahan. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk mengasingkan diri ke daerah Sine, tepatnya (sekarang) dusun Krajan Kulon hingga tutup usia dan dimakamkan di tempat yang sama. (Gus/Pripathok)


Bagian IV


[2/12 01.22] SUHU PSPB RONGGOLAWEZ21: Ketoprak Mataram - Panembahan Jogorogo bin Pangeran Pamekas

https://selopamioro.bantulkab.go.id/first/artikel/458

Selasa (26/11/2019)

Pada hari  minggu tanggal 24 november  tahun 2019 Gelar Budaya pagelaran seni tradisional Kethoprak Mataram Kridobudoyo malam Senin di Srunggo l dalam cerita Warok Jogorogo merupakan salah satu wujud nguri-uri budaya jawi dimana Desa Selopamioro merupakan pintu gerbang budaya.

Berikut kami berikan cerita singkat mengenai cerita WAROK JOGOROGO.

Konon di masa lalu hiduplah seorang bernama Ki Ageng Jogorogo. Ia seorang petani yang karena kealiman dan kesantunannya, dia sangat dihormati oleh orang-orang yang berdiam di tepian sungai Bengawan Solo hingga ke daerah kaki gunung Lawu. Ki Ageng Jogorogo adalah putra dari Panembahan Pamekasan di Madiun atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Purboyo, salah satu keturunan Sultan Patah pendiri Kasultanan Demak. Pada suatu hari saat Ki Ageng Jogorogo sedang menunggui para petani menggarap sawah di tepian sungai Bengawan Solo, sebuah kapal besar mendekat dan berhenti. Kapal tersebut adalah kapal milik kerajaan yang sedang mengantarkan sang raja untuk melihat-lihat kondisi wilayah. Sang raja tampak sangat berkenan dengan Ki Ageng Jogorogo yang dipujinya mampu menjadi pemimpin yang cakap. Karena itulah Sang Raja mengundang Ki Ageng Jogorogo untuk datang dan menemuinya di kerajaan ( disebutkan dalam cerita itu Mataram-Kartosura). Sesuai dengan titah Sang Raja, Ki Ageng Jogorogo pun menghadap ke kerajaan dan diberikan harta dan seorang perempuan untuk diperistri. Perempuan itu adalah seorang garwa ampil (salah satu selir sang raja). Dimasa lalu tradisi semacam ini merupakan bentuk penghargaan Raja terhadap jasa-jasa seseorang. Perempuan tersebut saat diberikan sebagai garwa ampil sudah dalam keadaan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki beberapa bulan berikutnya. Sesuai pesan dari sang raja, Ki Ageng Jogorogo dengan sepenuh hati menjaga, merawat, dan mendidik anak tersebut bak keturunannya sendiri. Hingga pada saat remaja ia pun membawa sang anak ke kerajaan. Oleh sang raja, pemuda itu kemudian diberikan wilayah setingkat kadipaten yang berkedudukan di Gendingan, dengan bergelar (Kanjeng Raden Tumenggung Anom) KRTA Arya Kertonegoro. Adipati Kertonegoro berusaha menjalankan pemerintahan dengan sebaik-baiknya. Tetapi lantaran ketidakjelasan batas wilayah maka beliau sering terlibat konflik dengan VOC yang kala itu berkedudukan di Karisidenan Magetan. Perselisihan itu pun memuncak hingga timbul saling benci. Pada satu ketika VOC dan beberapa Adipati lain berkomplot untuk membunuh Adipati Kertonegoro. Mereka bersiasat untuk membunuh Sang Adipati dalam perundingan yang mereka gelar di Ngawi ( dalam versi lain disebutkan mengundang dalam pertunjukan tayub). Adipati Kertonegoro yang dapat meloloskan diri dari percobaan pembunuhan, kemudian mengadakan perlawanan menggunakan kekuatan pasukan. Beberapa kali VOC dan pasukannya yang mencoba memasuki Kadipaten Gendingan gagal, karena kegigihan Adipati Kertonegoro dalam mempertahankan wilayahnya. Namun dalam satu pertempuran di tepian sungai ( tempat ajang perang-sekarang dinamakan Kajangan), panglima yang juga merupakan patih legendaris Gendingan, Ronggolono tewas karena penghianatan. Adipati Kertonegoro pun terpaksa menyingkir untuk menyusun kembali pasukannya yang tercerai-berai. Setelah dirasa cukup kuat, Adipati Kertonegoro balik menyerbu dan berhasil mengusir VOC dan kaki tangannya dari Kadipaten Gendingan. Tetapi saat melihat keadaan kadipaten yang telah porak poranda, Adipati Kertonegoro merasa tak akan sanggup lagi menjalankan roda pemerintahan. Beliaupun memutuskan untuk mengasingkan diri ke daerah Sine dan akhirnya menutup usia di sana

Sumber Artikel :

http://sclm17.blogspot.com/2016/03/cerita-rakyat-babad-gendingan-riwayat.html

Sejarah, Cerita, Legenda, Mitos, TOKOH, Situs


Bagian V


[2/12 01.23] SUHU PSPB RONGGOLAWEZ21: Pangeran Tejo Kusumo (Jogorogo)

https://www.harianmerapi.com/kearifan/pr-40441523/sekilas-dusun-klero-pambranan-dibuka-kyai-wongsopati

SEKILAS DUSUN KLERO, PAMBRANAN - Dibuka Kyai Wongsopati

admin_merapi

Minggu, 6 Mei 2018 | 07:25 WIB

MERAPI-ALBES SARTONO

Gapura masuk Makam Kyai Wongsopati. BANYAK orang tidak mengerti tentang nama suatu daerah atau toponimi. Kadang-kadang nama daerah itu terdengar aneh, lucu, dan unik didengar. Salah satu nama dusun yang unik dan nyaris tidak memiliki arti yang dapat segera ditebak adalah nama Dusun Klero, Sumberharjo, Prambanan, Sleman. Jika orang mendengar nama Klero, mungkin makna yang terbersit di benak adalah berasal dari kata kleru atau keliru. Mungkin juga orang menghubung-hubungkannya dengan istilah blero ’fals’. Ternyata nama Dusun Klero merupakan akronim dari kelire loro (kelirnya dua). Soal kelir dua ini menurut cerita setempat tidak lepas dari keberadaan tokoh setempat di masa lalu. Tokoh tersebut bernama Kyai Wongsopati. Menurut silsilah yang diterakan dalam sebuah prasasti di kompleks makam Kyai Wongsopati, tokoh ini masih keturunan dari bangsawan atau raja-raja Demak Bintara. Ia adalah putra keempat dari Ki Ageng Ampuhan (Raden Haryo Wongso). Ki Ageng Ampuhan sendiri merupakan putra Pangeran Tejokusumo (Panembahan Jogorogo). Pangeran Tejokusumo adalah putra Pangeran Sabrang Lor II Maulana Abdullah Al Idrus yang disebut juga Pangeran Haryo Pamungkas. Pangeran Haryo Pamungkas adalah putra Pangeran Sabrang Lor I. Pangeran Sabrang Lor I adalah putra Raden Patah (Sultan Demak I). Maka jika ditarik garis ke atas Panembahan atau Kyai Wongsopati adalah keturunan generasi ke-7 dari Sultan Demak Bintara. Jika pada generasi sebelumnya leluhur Kyai Wongsopati lebih banyak berurusan dengan dunia politik, militer, dan tahta kerajaan, Kyai Wongsopati sendiri lebih tekun berolah kebatinan dan keagamaan. Oleh karena itu ia lebih dikenal dengan gelar Panembahan Wongsopati. (Albes Sartono/Jbo)  

Editor: admin_merapi


Tags

prambanan


PT Merapi Media Utama

Jl Gambiran No 45 Yogyakarta 55163

0812 2712 7251

harianmerapi@gmail.com


Bagian VI


[2/12 01.25] SUHU PSPB RONGGOLAWEZ21: Desa Jomboran


https://desajomboran.blogspot.com/p/sejarah.html?m=1


Desa Jomboran

Sejarah

1. Sejarah Asal Usul


Sejarah Asal Usul Nama Desa Jomboran

Nama Jomboran menurut beberapa cerita sejarah (yang tidak terdokumentasikan) bahwa pada masa penjajahan belanda, wilayah kita pada saat itu banyak ditanami tanaman keras, khususnya di daerah paling utara, yang saat ini disebut Dukuh Jomboran, wilayah tersebut dulu sering dipakai sebagai tempat transit atau tempat singgah sementara dokar/andong (kereta yang ditarik kuda). Pada saat berkumpul para sinder sambil memberikan makan kuda atau dalam istilah jawa “nyombor kuda”, dari kata ini akhirnya wilayah kita sekarang disebut dengan Jomboran.

Sebelum munculnya Desa Jomboran, wilayah ini merupakan blengketan  penggabungan dari 2 (dua desa) Desa Tawang Sari wilayahnya meliputi Dukuh Krajan, Dukuh Kalikuning dan Dk. Ngukiran dan Desa Jomboran meliputi wilayah Dk. Jomboran, Dk. Bugelan dan Dk. Tempuran. Pemerintah Desa Tawang Sari pusat pemerintahanya berada di Dk. Tawang Sari dan Pemerintah Desa Jomboran pusat pemerintahnya berada di Dk. Jomboran, setelah ke dua desa tersebut diblengket/digabung  menjadi satu desa, ke dua desa tersebut menjadi Desa Jomboran. Pusat pemerinahan yang dapat diketahui setelah masa pemblengketan/penggabungan, kantor pemerintahan berada di Dk. Jomboran (sekarang rumah peninggalan yang digunakan sebagai kantor desa masih ada)

Sejarah sebelum keberadaan Desa Tawang Sari dan Desa Jomboran, pemerintahan dipimpin oleh seorang Ronggo/Kami Tuo, Desa Tawang Sari dan Desa Jomboran yang saat itu memiliki wilayah sendiri masih dipimpin oleh seorang Ronggo, setelah penggabungan kedua desa dipimpin oleh seorang lurah, kantor lurah Desa Jomboran yang pertama  berada di Dk. Jomboran. (Sumber: Bpk. Harsono, Warga RW XI, Dk. Kalikuning)


Sejarah Asal Usul Dukuh Bugelan


Pada zaman dahulu diduplah seorang Kyai yang bernama Kyai Bugel yang tinggal di Surabaya. Kyai Bugel selalu berperang melawan penjahat yang ada pada jaman itu, dan kali ini beliau melawan penjahat sambil menunggang kuda miliknya, tetapi nasibnya sungguh kurang beruntung, karena dalam peperangan kali ini Kyai Bugel terbunuh oleh penjahat.

Kyai Bugel terbunuh saat menunggangi kuda miliknya, karena tubuhnya terlilit oleh tali pengikat kuda, walaupun Kyai Bugel mati diatas pelana kuda, beliau tidak terjatuh ke tanah. Hingga akhirnya kuda itu berlari membawa Kyai Bugel dari Kota Surabaya menuju tempat lain. Dalam perjalannya Kyai Bugel masih terlilit oleh tali pelana kuda, dengan kencangnya kuda milik Kyai Bugel berlari mengatasi segala rintangan yang ada.

Setelah berhari – hari menempuh perjalanan, sampailah kuda itu dengan membawa jasad Kyai Bugel yang masih terlilit tali diatas pelana kuda disebuah tempat, karena kelelahan setelah melakukan perjalanan berhari – hari maka kuda itupun mati, tempat dimana kuda dan Kyai Bugel dimakamkan, saat ini tempat ini disebut dengan Bugelan untuk mengenang semua jasa dan pengorbanan beliau, dan makam Kyai Bugel saat ini masih ada di Dukuh Bugelan.

Wilayah Dukuh Bugelan saat ini pada awalnya terdiri dari 3 nama kelompok rumah yaitu Sidorejo, Tempel dan Bugelan, dari ketiga nama tersebut akhirnya diblengket menjadi satu nama Dukuh Bugelan.

Sidorejo adalah wilayah Bugelan disebelah barat selatan, nama Tempel untuk wilayah disebelah utara dan Bugelan sendiri berada di sebelah timur.

.

Sejarah Asal Usul Dukuh Tawang Sari


Dukuh Tawang Sari, sebelum masuk wilayah Desa Jomboran adalah merupakan satu nama desa tersendiri yaitu Desa Tawang Sari, dengan wilayah Dk. Tawang Sari, Dk. Ngukiran, Dk. Krajan dan Dk. Kalikuning, pusat permintahan kala itu berada di Dukuh Tawang Sari. Nama Tawang Sari pada mulanya berasa dari nama Taman Sari yaitu tempat tinggalnya para bidadari, menurut legenda Taman Sari dahulu dihuni oleh tujuh bidadari, sampai sekarang sebagian masyarakat masih ada yang mempercayai tujuh bidadari sebagai danyang Dukuh Tawang sari.


2. Sejarah Perkembangan Pemerintahan Desa Jomboran


Menurut cerita bahwa Desa Jomboran dahulu merupakan penggabungan 2 desa, sebelum kantor desa berada di Wilayah Dukuh Krajan, pusat pemerintahan Jomboran berada di Dukuh Tawang Sari, pada masa itu Desa Jomboran terdiri dari 2 desa yaitu Desa Jomboran dan Desa Ngemplak, setelah dari Dukuh Tawang Sari pusat pemerintahan pindah ke Dukuh Jomboran. Untuk pusat Pemerintahan Desa yang berpusat di Dk Jomboran sampai saat ini masih ada bangunan yang dipakai sebagai kantor desa, tetapi di Dk Tawang Sari sudah tidak ada lagi bekas peninggalannya. Kami mencoba merunut kembali masa pemerintahan desa yang dapat kami gali informasinya, dimulai dari:

Pemerintahan desa yang pertama dipimpin oleh Bpk. Hardjo Wirdjono, beliau memimpin Desa Jomboran sampai dengan tahun 1975, pusat pemerintahan pada saat itu berada di Rw I, Dk Jomboran dengan kantor desa yang masih ada saat ini.

Setelah Bpk. Harjo Wirdjono, pemerintahan mengalami masa kekosongan jabatan kepala desa, sehingga di pemerintahan desa dipegang oleh CT  (care taker/pejabat sementara) yang dipegang oleh Bpk. Sutono Pawiro, beliau memegang hanya selama 2 tahun mulai tahun 1975 – 1977, selama kepemimpinannya ini beliau memberikan peninggalan kantor desa yang sekarang ditempati sebagai pusat pemerintahan, dan kantor desa itu diberi nama “TUTUKO” dengan harapan kantor desa ini dapat selesai pembangunanya, karena pada saat beliau memimpin kantor desa ini belum selesai. Beliau juga sudah merencanakan membangun gapuro desa yang belum selesai dan saat ini bekasnya masih ada dan belum sempat dilanjutkan hingga sekarang. Beliau menjadi pemimpin desa yang sangat  dikenal biarpun hanya sebagai pejabat sementara dan hanya 2 tahun menjadi care taker, beliau menjadi legenda kepala desa di Desa Jomboran karena system kerja yang diterapkan saat itu sangat baik.

Pemerintahan desa yang ke II dipimpin oleh Bpk Mundjijat, BBA, beliau memimpin Jomboran dari tahun 1978 – 1989 selama satu periode jabatan kepala desa (8 tahun). Pada masa pemer intahan beliau banyak ditandai dengan hal-hal yang cukup fenomenal diantaranya dibangunya SMPN 5 Klaten, masuknya listrik ke Jomboran juga karena jasanya, dan pembangunan beberapa jembatan dibangun pada masa pemerintahan beliau, pada masa pemrintahan beliau kelompok tani pernah menjadi Juara Nasional, Desa Jomboran menjadi pusat belajar dibidang pertanian bagi petani daerah lain bahkan dari luar pulau jawa. Pada saat pemerintahan beliau juga tempat pembuangan akhir (TPA) sampah mulai masuk di Jomboran, yang sampai sekarang kurang lebih sudah hampir 25 tahun keberadaan TPA tersebut berada di Jomboran dan banyak mendapatkan sorotan tentang dampak dari TPA.

Pemerintahan desa yang ke III dipimpin oleh Bpk. Saminu, beliau memimpin Desa Jomboran selama 2 periode, periode pertama tahun1990 – 1998, periode kedua tahun 1998 - 2006, pada masa beliau ditandai dengan masuknya Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)

Kepala Desa Jomboran yang ke empat (IV) di pegang oleh Agung Widodo, SE, MPd yang menjabat selama 2 periode, periode petama tahun 2007 – 2013, periode kedua tahun 2013 – 2019.


3. Cerita Sejarah Unik Makam Wiryo Negaran Kalikuning


Di Desa Jomboran ada sebuah makam yang keberadaanya cukup memiliki sejarah, terutama bagi warga yang memiliki  alur trah/garis keturunan dari makam wiryonegaran, makam ini berada di Dukuh Kalikuning, bagi kami Dukuh kalikuning dapat diibaratkan Pulau Bali, dimana Pulau Bali lebih terkenal dari pada Indonesia, orang luar akan lebih mengenal Pulau Bali dari pada mengenal Negara Indonesia.

Demikian juga dukuh kecil yang menjadi bagian dari Desa Jomboran ini, dapat kami ibaratkan bahwa Dk. Kalikuning keberadaanya seperti Pulau Dewata, orang luar akan lebih mudah mengenal Kalikuning dari pada Desa Jomboran.

Di dukuh kecil yang hanya terdiri dari 2 RT ini ada sebuah makam yang disebut Makam “WIRYONEGARAN” makam ini menjadi salah satu makam yang cukup prestisius bagi sebagian warga kami apabila dibandingkan dengan makam – makam yang lain.

Sebelumnya perlu kami sampaikan bahwa kami cukup terkejut ketika mendengar saat dibacakannya runutan sejarah Klaten pada saat hari jadi Klaten. Pada saat itu di benak penulis atas dasar informasi yang berkembang di sekitar desa kami, Makam “Wiryonegaran” yang bertempat di Kalikuning, Jomboran dimakamkan seorang tokoh dan sekaligus pelaku sejarah di Klaten. Akan tetapi mengapa dalam struktur sejarah Klaten Kalikuning tidak disebut dalam bagian sejarah.

Apalagi saat penulis bertemu dengan Bapak Sapto Aji yang saat itu beliau menjabat sebagai Kepala Badan Arsip Dan Perpustakaan Kabupaten Klaten, Beliau mengatakan bahwa Bupati Klaten yang diketahui baru pada mulai bupati ke tiga, artinya siapa bupati Klaten yang pertama dan kedua ternyata belum diketahui.

Atas dasar itu penulis mencoba menelusuri jejak rekam sejarah Makam “Wiryonegaran” Kalikuning, mudah – mudahan tulisan ini ada manfaatnya atau bahkan bisa menyambung mata rantai sejarah yang terputus.

Menurut salah satu sumber yang masih ada ikatan silsilah dengan Tmg Wiryonegoro, dapat kami sampaikan runutan silsilah yang mungkin bisa menjadikan perbandingan.

Kami mengambil beberapa nara sumber untuk menggali silsilah ini, yang mau tidak mau akan membawa salah satu tokoh penting yang dimakamkan di Makam “Wiryonegaran” Kalikuning yaitu:

Bahwa hasil runutan silsilah dari Raden Tumenggung Wiryonegoro, tulisan ini akan memutus mata rantai dari Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Alam Akbar Raden Patah (yang menjabat ratu di Demak Bintoro) – beliau menurunkan Pangeran Pamekas – beliau menurunkan Kanjeng Panembahan Jogorogo – beliau menurunkan  Pangeran Tejo Kusumo alias Ki Ageng Ampuhan – beliau menurunkan  Kyai Ageng Karang Lo – beliau menurunkan Kyai Cucuk Dandang Ugi Priyandono – beliau menurunkan R. Ng. Kusumodipo – dari beliau menurunkan R. Ng. Reksoprojo Kaliwon Pepatih Kartosuro – beliau menurunkan Raden Tumenggung Wiryonegoro.

Kami hanya dapat menelusuri keberadaan dari R. Ng. Reksoprojo Kaliwon, beliau menjabat sebagai patih atau wakil raja di daerah Kartosuro (sekarang wilayah Kabupaten Sukoharjo), beliau dimakamkan di Makam Kelurahan Klaten atau sekarang lebih terkenal dengan sebutan Eyang Mlati.

R. Tmg. Wiryonegoro, merupakan putra dari R. Ng. Reksoprojo Kaliwon, semasa  hidupnya beliau menjabat sebagai Bupati di daerah Prambanan akan tetapi berdomisili di di daerah Kalikuning, dan sampai akhir hayatnya beliau dimakamkan di pemakaman “Wiryonegaran” Kalikuning, nama makamnyapun diambilkan dari nama beliau.

Mengapa R. Tmg Wiryonegoro menjadi bupati Prambanan? Karena pada saat itu adalah pecahnya kerajaan mataram menjadi 2 bagian atau lebih terkenal dengan perjanjian “Giyanti” sehingga ayahnada yang menjabat sebagai patih, menempatkan putranya menjadi bupati Prambanan yang akan mengawasi wilayah perbatasan antara kasunanan Surakarta dan Kerajaan di Yogyakarta.

Dari R. Tmg. Wiryonegoro,  semasa hidupnya menikah dengan seorang putrid. 

Akan tetapi karena tidak ada dokumen resmi yang menyatakan bahwa Tmg Wiryonegoro adalah seorang bupati, maka cerita ini hanya dianggap sebuah cerita belaka.


Nara sumber:


Mundjiyat/Ny. Kadaryatun, yang bersangkutan ( adalah mantan Kepala Desa Jomboran periode 1987 -1997.

Juru Kunci Makam “Wiryonegaran” Kalikuning yaitu Mbah Yoso Sumarto yang bertempat tinggal di Kalikuning RT 03 RW IX Jomboran, Klaten Tengah.

Tokoh spiritual yang ada di wilayah ini yaitu Mbah Suratno atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Sadur tinggal di Karajan Rt 01 RW IX Jomboran, Klaten Tengah.


8 comments:


UnknownDecember 3, 2015 at 8:00 PM

mbah wiyonegoro atau mbah menggung


Reply


UnknownDecember 3, 2015 at 8:00 PM

mbah wiyonegoro atau mbah menggung


Reply


gubuklangitJuly 22, 2017 at 6:45 AM

Kira2 ap hubunganx dengan orangtua saya ya..ketika itu rama saya dipanggil menghadap ke keraton surakarta karena suatu hal kemudian diberikan nama belakang krht wiryonegoro..apakah ada kemungkinan hubungan kedua nama ini?


Reply


UnknownMay 14, 2019 at 1:22 AM

emang orang tua orang mana


Reply


Muhamad Sadikin. S.HumSeptember 7, 2020 at 1:25 AM

Ada ga hubungannya dg tumenggung wirobongso d desa tambongwetan?


Reply


Muhamad Sadikin. S.HumSeptember 12, 2020 at 7:55 AM

Admin boleh minta nomor hp? Saya pengen diskusi perihal ini.

Atau ini wa saya 089648819529


Reply


UnknownJanuary 23, 2021 at 6:59 PM

Itu leluhurnya kyai saya dibekasi.

Namanya kyai alip prayogi

(kyai singa/gus ogi)


و الحمد لله رب العالمين

صلى الله على محمد

0 comments:

Post a Comment