Thursday, November 20, 2025

JALUR SUTRA MARITIM NUSANTARA ERA PRA 300 SM - 300 M

 HARTABUTA :

Jum'at, 21-11-2925 M. 

JALUR SUTRA MARITIJALUR SUTRA MARITIM NUSANTARAM NUSANTARA :

Rekonstruksi Arkeologi Pelabuhan, Teknologi Kapal, dan Sistem Perdagangan Pra-Sriwijaya (500 SM – 300 M)


Oleh M. Basyir Zubair


PENDAHULUAN


Kajian sebelumnya menunjukkan bahwa sejarah awal Nusantara tidak dimulai pada abad ke-4 M, melainkan telah berlangsung sejak milenium pertama sebelum Masehi berdasarkan bukti arkeologi, numismatik, dan catatan asing (Bellwood 2017; Manguin 2004; Wolters 1967). Namun, pengakuan bahwa jaringan maritim ini telah aktif sejak awal menuntut penjelasan lebih rinci: bagaimana sistem perdagangan tersebut bekerja secara konkret?


Pertanyaan ini menuntut rekonstruksi sistematis atas tiga aspek kunci:


1. teknologi kapal yang memungkinkan pelayaran jarak jauh,


2. distribusi geografis pelabuhan kuno sebagai node perdagangan,


3. komoditas dan aktor yang terlibat berdasarkan temuan artefaktual.


Tulisan ini berupaya mengisi kekosongan tersebut melalui sintesis bukti arkeologi maritim dari berbagai situs di Nusantara yang bertarikh 500 SM–300 M. Pendekatan ini mengikuti arkeologi maritim Asia Tenggara yang menekankan peran material culture dalam memahami dinamika ekonomi pra-negara (Bellina 2014; Manguin 1993; Miksic 2013).


1. TEKNOLOGI MARITIM: KAPAL SEWN-PLANK DAN SUPERIORITAS PELAYAR AUSTRONESIA


1.1 Bukti Arkeologi dan Etnografi Kapal Sewn-Plank


Teknik sewn-plank papan kapal dijahit menggunakan serat alami seperti rotan, ijuk, atau serat kelapa merupakan teknologi khas Austronesia (Manguin 1985, 1993). Tradisi konstruksi ini berbeda dari paku besi Tiongkok dan pasak kayu India.


Bukti terpenting meliputi:


Perahu Butuan (Mindanao), bertarikh 320–1250 M, menunjukkan tradisi lebih tua berdasarkan kesesuaian morfologi dengan teknologi Austronesia awal (Beyer 1948; Scott 1982; Horridge 1982).


Pontian boat (Johor), abad ke-3–5 M, memperlihatkan teknik jahitan identik dengan tradisi Nusantara Barat (Manguin 1989).


Catatan Dinasti Jin dan Tang menjelaskan kapal Kunlun Po sepanjang 50–60 m yang “dijahit, bukan dipaku”, dan berkapasitas hingga 600 ton (Tibbetts 1979; Wheatley 1959; Manguin 1993).


1.2 Keunggulan Teknis Sewn-Plank


Manguin (1993) mengidentifikasi keunggulan berikut:


1. Fleksibilitas struktur menghadapi gelombang tinggi Samudra Hindia.


2. Perbaikan mudah tanpa bengkel pandai besi.


3. Kemampuan knock-down, memudahkan portage sungai darat.


4. Anti-korosi, karena tidak menggunakan paku besi.


Keunggulan inilah yang membuat kapal Nusantara dibeli atau digunakan pedagang asing selama abad 7–13 M (Manguin 2004).


1.3 Implikasi bagi Perdagangan Pra-Sriwijaya


Teknologi ini membuktikan bahwa:


pelayaran jarak jauh dapat dilakukan oleh penduduk lokal, bukan hanya pedagang asing (Hall 2011),


pelabuhan bukan titik transit pasif, melainkan pusat pembuatan dan perbaikan kapal (Manguin 2004),


teknologi menyediakan leverage ekonomi bagi penguasa pelabuhan (Christie 1995).


2. GEOGRAFI PELABUHAN KUNO: DISTRIBUSI SITUS DAN POLA PEMUKIMAN MARITIM


2.1 Metode Identifikasi Pelabuhan Purba


Pelabuhan kuno diidentifikasi melalui:


konsentrasi keramik asing (Miksic 2013),


temuan koin logam (Wicks 1992),


manik-manik impor dan lokal (Francis 2002),


industri logam dan bengkel lokal (Bellina 2014),


lokasi strategis di muara sungai atau selat (Wolters 1967).


2.2 Pantai Barat Sumatra: Barus dan Jalur Kapur Barus


Ekskavasi Barus (Lobu Tua) menunjukkan lapisan abad 1–7 M berisi:


keramik India periode awal,


manik-manik carnelian India (Francis 2002),


koin punch-marked India dan koin Romawi (Guillot et al. 2003).


Catatan Nanzhou Yiwu Zhi (abad 3 M) menyebut “Bolu” sebagai penghasil kapur barus terbaik (Wheatley 1959). Ini menunjukkan bahwa Barus telah terintegrasi dalam pasar global sejak awal.


2.3 Pantai Utara Jawa: Rembang-Lasem, Batujaya, dan Jalur Citarum


2.3.1 Rembang–Lasem


Temuan:


koin Ban Liang Qin dan Wu Zhu Han (Bosch 1916),


2000 koin Han dan Tang (Wicks 1992),


keramik Han (Adhyatman & Arifin 1993).


Ini menunjukkan sirkulasi aktif, bukan temuan sporadis.


2.3.2 Batujaya–Segaran


Lapisan bawah Segaran memuat:


gerabah Buni (400 SM–100 M),


manik-manik Indo-Pasifik (Francis 2002),


keramik India awal.


Lokasi strategis di delta Citarum menjadikannya pelabuhan sungai penghubung agraris–maritim (Manguin & Indradjaja 2006; Manguin 2009).


2.4 Bali Utara: Sembiran–Pacung sebagai Gateway Nusantara Timur


Temuan Sembiran (Ardika & Bellwood 1991):


manik-manik carnelian India,


keramik rouletted ware India Selatan (Begley 1983),


manik kaca Indo-Pasifik (Francis 1990),


stempel tanah liat bertuliskan Brahmi abad 1 M (Ardika 1997).


Ini merupakan bukti paling awal tulisan di Nusantara.


2.5 Pantai Timur Sumatra: Sungai Musi Pra-Sriwijaya


Temuan:


koin Wu Zhu Han Timur (Wicks 1992),


keramik Jin dan Tang awal (Miksic 2003),


manik Indo-Pasifik.


Geomorfologi menunjukkan pelabuhan awal tertimbun sedimentasi Musi (Manguin 2004). Ini menegaskan aktivitas perdagangan jauh sebelum Sriwijaya terbentuk (Wolters 1967).


2.6 Kalimantan Timur: Muara Kaman dan Jalur Emas dan Berlian


Temuan pra-prasasti:


manik carnelian India (Bellwood 1997),


perhiasan emas lokal tingkat tinggi (Miksic 2013),


keramik Han dan Tang.


Wilayah hulu Mahakam merupakan sumber emas dan berlian (Wolters 1967). Kontak ekonomi mendahului munculnya kekuasaan Mulawarman (Christie 1995).


3. KOMODITAS DAN EKONOMI: BUKTI ARKEOLOGI PRODUK PERDAGANGAN


3.1 Rempah-Rempah: Monopoli Nusantara dalam Jaringan Perdagangan Global


Nusantara menguasai penuh produksi pala, cengkeh, dan beberapa jenis kayu manis yang menjadi komoditas bernilai tinggi di pasar Timur–Barat. Pala dan cengkeh hanya tumbuh alami di Kepulauan Banda dan Ternate–Tidore, sehingga menjadi komoditas eksklusif dunia kuno.


Bukti arkeologi langsung sulit ditemukan karena rempah bersifat organik. Namun, bukti tidak langsung sangat kuat:


Periplus Maris Erythraei (abad 1 M) menyebut komoditas “malabathron” dan “makir” yang diasosiasikan dengan kayu manis dan fuli pala (Casson 1989: 89–91).


Pliny the Elder menguraikan harga rempah Asia yang sangat mahal di Roma, termasuk pala dan cengkeh (Miller 1969: 45–52).


Nanfang Caomu Zhuang (abad 4 M) memberi deskripsi botani rinci tentang cengkeh dari “lautan selatan” (Wheatley 1959).


Temuan keramik India dan Tiongkok abad 7–10 M di Maluku mengindikasikan jalur perdagangan yang sudah mapan, sementara minimnya temuan periode lebih awal kemungkinan akibat kurangnya survei arkeologi (Bellwood 1997).


Keseluruhan data menunjukkan bahwa rempah menjadi produk unggulan Nusantara sejak awal Masehi.


3.2 Resin Aromatik: Kapur Barus, Benzoin, dan Gaharu


Berbeda dengan rempah, bukti arkeologi komoditas resin aromatik jauh lebih kuat karena wilayah produksinya, Sumatra dan Kalimantan memiliki banyak situs arkeologi.


Kapur Barus dari Sumatra Utara terbukti diperdagangkan sejak abad 1–3 M melalui temuan koin India dan Romawi di Barus (Guillot et al. 2003).


Benzoin (Sumatra Selatan) dan gaharu (Kalimantan) disebutkan dalam catatan Tiongkok dan Arab awal (Wheatley 1959).


Temuan koin, keramik, serta situs pemukiman menunjang bahwa perdagangan resin sudah berlangsung sebelum kebangkitan Sriwijaya (Wolters 1967).


Resin ini dibutuhkan dalam ritual keagamaan, pengobatan, dan kosmologi parfum di India, Timur Tengah, dan Tiongkok, sehingga permintaannya stabil selama berabad-abad.


3.3 Manik-Manik: Dari Konsumen Menjadi Produsen


Manik-manik ditemukan dalam jumlah besar di Sembiran, Buni, Batujaya, dan berbagai situs lainnya. Awalnya diasumsikan sebagai impor India, tetapi penelitian terbaru menunjukkan peran Nusantara sebagai produsen dan eksportir.


Penelitian Bellina (2014) di pesisir timur Sumatra menemukan:


Tungku peleburan kaca untuk memproduksi manik-manik (hlm. 359).


Carnelian setengah jadi dalam berbagai tahap pengerjaan (hlm. 362).


Alat bor dan pemotong batu khas industri lokal (hlm. 365).


Analisis kimia terhadap manik-manik Sembiran dan Buni menunjukkan formula yang berbeda dari India, serta temuan tipe “Indo-Pasifik” di Afrika Timur (Zanzibar, Madagaskar) yang identik secara komposisi menunjukkan ekspor langsung ke Samudra Hindia Barat (Francis 2002: 89–92).


Kesimpulan: Nusantara bukan sekadar pasar barang mewah, tetapi pemain aktif dalam produksi manufaktur global.


3.4 Logam: Emas, Timah, dan Besi


Emas menjadi daya tarik utama pedagang asing sejak awal.


Ptolemy (abad 2 M) menyebut “Chryse” atau “Tanah Emas”, merujuk Semenanjung Malaya atau Sumatra (Wheatley 1961).


Catatan Tiongkok berulang kali menyebut wilayah Nusantara sebagai “Jinzhou” (Negeri Emas).


Bukti arkeologi:


Perhiasan emas dengan teknik filigree dan granulasi ditemukan di Jawa, Sumatra, Kalimantan (Miksic 2013: 67–72).


Temuan emas alluvial di Mahakam, Barito, Batanghari menunjukkan eksploitasi aktif sejak awal (Wolters 1967: 165–170).


Ingot emas dengan berat standar menunjukkan fungsinya sebagai alat tukar (Wicks 1992: 89).


Timah Bangka–Belitung menjadi jauh lebih penting setelah abad 7 M (Bronson 1992), namun indikasi eksploitasi lebih awal mulai muncul. Produksi besi terbukti di Jawa dan Sumatra melalui tungku peleburan abad 1–5 M (van der Hoop 1941).


3.5 Keramik: Indikator Intensitas Perdagangan


Keramik bukan komoditas ekspor Nusantara, tetapi jumlah dan penyebarannya menjadi indikator terbaik aktivitas maritim.


Temuan dari India:


Rouletted ware (200 SM – 200 M) dari India Selatan ditemukan di Bali (Sembiran), Jawa Barat (Buni), Sumatra (Barus) (Begley 1983; Ardika & Bellwood 1991).


Keramik glazed periode Gupta (abad 4–6 M) ditemukan di Barus dan Jawa (Adhyatman & Arifin 1993).


Temuan dari Tiongkok:


Keramik Han jarang ditemukan.


Keramik periode Jin (265–420 M) dan Tang awal (618–700 M) mulai banyak ditemukan (Adhyatman & Arifin 1993: 23–34).


Pola ini sejalan dengan ekspansi maritim Tiongkok yang meningkat pesat pada masa Tang (Wang 1958) dan mencapai puncaknya pada era Sriwijaya (abad 7–13 M), ketika keramik Tiongkok membanjiri pelabuhan Nusantara.


4. AKTOR DAN ORGANISASI: SISTEM PERDAGANGAN TANPA NEGARA TERPUSAT


4.1 “Negeri” dan “Bandar”: Unit Politik Sebelum Kerajaan


Sebelum munculnya kerajaan-kerajaan awal (Tarumanagara, Kutai, dsb.), perdagangan maritim di Nusantara telah berjalan intensif. Namun, aktivitas ekonomi ini tidak lahir dari negara terpusat, melainkan dari unit-unit politik kecil yang fleksibel.


Wolters (1967; 1982; 1999) menjelaskan bahwa otoritas politik masa itu berbasis pada prestise personal, bukan birokrasi atau dinasti. Pemimpin lokal (kadang disebut men of prowess) memperoleh pengaruh melalui:


Kemampuan menarik pengikut (mandala)


Menguasai pelabuhan atau muara sungai strategis


Memiliki jaringan dengan pedagang luar


Distribusi kekayaan melalui ritus dan jamuan


Model ini sejalan dengan bukti etnografi abad 16–19 bahwa banyak pelabuhan Nusantara beroperasi tanpa raja, tetapi dipimpin shahbandar atau kepala pelabuhan dengan otoritas berbasis reputasi (Kathirithamby-Wells, 1990; Reid, 1988).


Pada periode pra-prasasti, unit seperti ini kemungkinan berupa "negeri": komunitas pelabuhan kecil yang mengontrol hinterland produktif, bersifat de facto, bukan legal-formal (Christie, 1995).


4.2 Mekanisme Kepercayaan: Cara Perdagangan Berjalan Tanpa Hukum Tertulis


Perdagangan jarak jauh tetap stabil tanpa kontrak tertulis karena adanya sistem kepercayaan informal:


1. Jaringan etnik dan bahasa


Diaspora pedagang berbagi bahasa/etnis biasanya membentuk jaringan kepercayaan internal. Pola ini jelas pada abad 9–13 (komunitas Tamil), dan kemungkinan sudah berlaku sebelumnya (Hall, 2011).


2. Perkawinan campuran


Pernikahan antara pedagang luar dan perempuan lokal menciptakan ikatan kekerabatan yang memperkuat hubungan dagang (Reid, 1988).


3. Reputasi


Pedagang yang menipu dapat dikucilkan lintas pelabuhan. Sistem reputasi ini menggantikan peran hukum formal (Greif, 1989; 1993).


4. Ritual keagamaan dan komensalitas


Sumpah, tukar hadiah, serta makan bersama memperkuat kepercayaan antar-pelaku perdagangan (Christie, 1995).


4.3 Peran Pedagang Lokal: Bukti Linguistik, Arkeologi, dan Catatan Tiongkok


Historiografi lama sering menggambarkan pedagang lokal sebagai pihak pasif. Bukti terbaru menunjukkan sebaliknya.


A. Bukti linguistik


Blust (2013) menunjukkan bahwa banyak istilah perdagangan di bahasa Austronesia justru asli, bukan pinjaman:


dagang, dagangan


laba, untung


niaga (memang dari Sanskerta, tetapi masuk sangat awal)


bandar (adaptasi lama dari Persia)


Ini menunjukkan bahwa konsep perdagangan sudah tertanam sebelum pengaruh India.


B. Mobilitas maritim Austronesia


Kemampuan pelayaran kuno Nusantara mencakup India, Tiongkok, hingga Melanesia (Bellwood, 2017; Manguin, 2004).


C. Catatan Tiongkok


Catatan Dinasti Tang menyebut pedagang “Kunlun” kemungkinan Melayu/Jawa yang aktif berdagang di pelabuhan Tiongkok (Wang, 1958; Tibbetts, 1979).


Kesimpulan: masyarakat lokal adalah aktor utama, bukan sekadar produsen barang.


4.4 Pedagang Asing: India, Tiongkok, dan Persia, Arab


Pedagang India


Bukti kehadiran mereka:


Rouletted ware di Sembiran dan situs lain (Begley, 1983)


Manik-manik carnelian Gujarat (Francis, 2002)


Clay sealing aksara Brahmi di Bali (Ardika, 1997)


Namun, artefak India tidak selalu berarti pedagang India yang membawanya bisa melalui pedagang Nusantara sendiri (Hall, 2011).


Pedagang Tiongkok


Kontak langsung terbatas sebelum abad 7 M. Kebanyakan barang Tiongkok awal kemungkinan dibawa pedagang Asia Tenggara yang membeli di pelabuhan Tiongkok Selatan (Wang, 1958). Intensitas meningkat besar pada era Tang.


Pedagang Persia–Arab


Bukti arkeologis awal sangat terbatas, tetapi catatan Arab abad 9 M menunjukkan pengetahuan rinci tentang Nusantara (Tibbetts, 1979). Kemungkinan keterlibatan mereka sudah dimulai sejak abad 7 M.


4.5 Sistem Pertukaran: Campuran Barter, Koin, dan Prestige Goods


Sebelum era kerajaan, sistem ekonomi tidak tunggal, melainkan kombinasi:


1. Barter langsung


Dipakai luas untuk komoditas primer seperti rempah, tekstil, logam (Wicks, 1992).


2. Penggunaan koin


Koin India dan Tiongkok banyak ditemukan, tetapi kemungkinan besar hanya digunakan:


dalam perdagangan antar-pedagang profesional,


sebagai penyimpan nilai, bukan untuk transaksi harian.


3. Barang bernilai tinggi sebagai alat relasi


Emas, perak, manik-manik, dan tekstil mewah digunakan sebagai prestige goods dalam ritual pertukaran elite (Bronson, 1977). Sistem ini menciptakan debt of honor (Christie, 1995).


5. TRANSISI KE ERA KERAJAAN: PERUBAHAN ABAD 4–7 M


5.1 Prasasti dan Legitimasi Kekuasaan


Kemunculan prasasti abad 4–5 (Kutai, Tarumanagara, Dinoyo) menunjukkan proses institusionalisasi kekuasaan. Bahasa Sanskerta dan aksara Pallava menandai adopsi teknologi penulisan India.


Menurut Christie (1995), prasasti berarti bahwa elite lokal yang sebelumnya memimpin sebagai “pemuka pelabuhan” kini memperkuat posisinya dengan:


ideologi Hindu-Buddha (devaraja, chakravartin),


legitimasi trans-generasi,


birokrasi terbatas.


Ini bukan penciptaan baru, tetapi penegasan kekuasaan yang sudah ada.


5.2 Ekonomi Stabil, Politik Berubah


Perlu dibedakan:


A. Ekonomi tetap berkelanjutan


Komoditas, jalur perdagangan, teknologi kapal, pola pelabuhan—semuanya berlanjut dari periode sebelumnya. Tidak ada revolusi ekonomi besar.


B. Politik mengalami transformasi


Yang berubah justru struktur otoritas:


dari negeri berbasis prestise,


menjadi kerajaan berbasis legitimasi ideologi dan tulisan.


Penting untuk membedakan antara kontinuitas ekonomi dan diskontinuitas politik:


Kontinuitas ekonomi

Jalur perdagangan, jenis komoditas, dan teknologi maritim pada dasarnya tidak berubah hanya karena munculnya prasasti. Rempah tetap diekspor, pelabuhan tetap berfungsi, dan kapal sewn-plank tetap menjadi teknologi utama. Sistem perdagangan yang telah mapan sejak abad 1 SM terus berjalan dengan ritme yang sama.


Diskontinuitas politik

Perubahan terjadi pada struktur kekuasaan. Dari sistem lokal yang berbasis prestise personal (negeri), muncul otoritas yang lebih terpusat, berbasis ideologi dan legitimasi tertulis (kerajaan). Raja-raja mulai mengklaim wilayah yang lebih luas dan mencoba mengatur perdagangan melalui pajak, monopoli, atau regulasi tertentu.


Meskipun demikian, pusat kekuasaan ini tidak sekuat gambaran tradisional. Bahkan Sriwijaya yang sering dipandang sebagai kerajaan maritim raksasa kemungkinan hanya memiliki kontrol efektif pada wilayah inti Palembang dan Jambi. Pelabuhan lain tetap berjalan semi-otonom (Wolters, 1967; 1999).


5.3 Dari Sriwijaya ke Majapahit: Kelanjutan Sistem Pra-Kerajaan


Kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya (abad 7–13 M) dan Majapahit (abad 13–15 M) adalah puncak sentralisasi politik, bukan pencetus perdagangan maritim Nusantara. Jalur Tiongkok–India telah hidup lama sebelum mereka berdiri.


Sriwijaya tidak “menciptakan” jalur pelayaran, tetapi menguasai selat-selat penting (Malaka, Sunda) yang telah aktif sejak abad 1 M.


Majapahit tidak memulai perdagangan rempah, tetapi mengatur sistem tributary yang mencakup daerah-daerah penghasil rempah yang telah terhubung sejak era Romawi.


Kontribusi kerajaan besar terutama berupa:


1. Stabilitas politik dan keamanan pelayaran


2. Standarisasi pajak, timbangan, dan aturan dagang


3. Diplomasi internasional


4. Pembangunan infrastruktur maritim


Namun sistem ekonominya sendiri adalah warisan pra-kerajaan yang sudah berkembang sejak 500 SM.


6. IMPLIKASI DAN AGENDA RISET


6.1 Revisi Paradigma Historiografi


Paradigma lama yang menganggap “sejarah Indonesia dimulai abad 4 M” perlu direvisi karena:


1. Mengabaikan bukti arkeologi yang kaya dari 500 SM–300 M


2. Menganggap “tidak ada sejarah tanpa prasasti”, padahal data arkeologi dan catatan asing sangat informatif


3. Menciptakan narasi bahwa peradaban lokal muncul hanya setelah menerima pengaruh India


Revisi penting:


Awal sejarah Nusantara dimundurkan ke era perdagangan awal (abad 2–1 SM) atau bahkan migrasi Austronesia (1500 SM)


Prasasti adalah penanda perubahan politik, bukan awal peradaban


Arkeologi maritim harus setara pentingnya dengan epigrafi


6.2 Pelestarian Situs Arkeologi Maritim


Banyak situs penting, Barus, Sembiran, Batujaya, Segaran, belum ditangani secara komprehensif dan terancam kerusakan.


Prioritas pelestarian:


1. Barus


2. Sembiran


3. Batujaya–Segaran


4. Pantai timur Sumatra dan Kalimantan


Rekomendasi:


Penetapan Kawasan Cagar Budaya


Monitoring rutin


Kerjasama internasional (misalnya EFEO)


Pelatihan arkeolog muda dalam metode maritim


6.3 Arkeologi Bawah Air: Frontier Baru


Belum adanya temuan kapal karam periode awal (abad 1–7 M) tidak berarti tidak ada kapal karam. Penyebab utamanya kurangnya survei bawah air dan sifat organik kapal sewn-plank.


Agenda riset:


Survei sonar di selat strategis


Ekskavasi kapal karam yang berpotensi bertarikh awal


Kolaborasi internasional


Pelatihan penyelam-arkeolog Indonesia


Wilayah prioritas:


1. Selat Malaka


2. Selat Sunda


3. Bali–Nusa Tenggara


4. Riau–Lingga


6.4 Analisis Material: Masa Depan Studi Provenansi


Teknologi seperti XRF, NAA, isotopic analysis, dan LA-ICP-MS membuka peluang besar untuk menentukan asal bahan, sumber teknologi, dan jalur distribusi.


Aplikasi utama:


Komposisi manik-manik


Provenansi keramik


Asal logam


Identifikasi resin aromatik


DNA kuno untuk mobilitas penduduk


Solusi kendala:


Digitalisasi koleksi museum


Kerjasama laboratorium internasional


6.5 Nusantara dalam Kerangka Big History


Nusantara harus ditempatkan sebagai node penting dalam jaringan global perdagangan dan migrasi.


Pertanyaan komparatif:


Perbandingan sistem dagang Nusantara vs Mediterania


Peran Nusantara dalam “globalisasi pertama” (1–7 M)


Inovasi teknologi maritim


Dampak epidemi melalui jalur laut


Dampak eksploitasi lingkungan sejak era awal


6.6 Digitalisasi dan Open Access


Akses data arkeologi masih sangat terbatas. Diperlukan:


1. Database nasional berbasis GIS


2. Digitalisasi laporan ekskavasi


3. Repositori open access


4. Platform kolaboratif antar-institusi


5. Program citizen science untuk dokumentasi situs


KESIMPULAN


Rekonstruksi arkeologi periode 500 SM–300 M menunjukkan bahwa:


1. Teknologi maritim Austronesia memungkinkan dominasi pelayaran jarak jauh sejak awal milenium pertama SM.


2. Pelabuhan kuno di Nusantara Barat menunjukkan jaringan perdagangan yang luas dan aktif.


3. Nusantara adalah produsen sekaligus eksportir penting komoditas global, bukan hanya penerima pengaruh.


4. Sistem perdagangan berjalan tanpa negara terpusat, berdasarkan jaringan kepercayaan dan prestise lokal.


5. Prasasti abad 4 M adalah perubahan politik, bukan awal peradaban.


Karena itu, sejarah Nusantara tidak bermula pada abad 4 M, melainkan jauh lebih awal sebagai pusat aktivitas maritim Asia Tenggara.


Prioritas riset ke depan:


Arkeologi maritim dan bawah air


Ekskavasi situs pesisir


Analisis material modern


Integrasi dalam sejarah global


Digitalisasi data arkeologi


Dengan langkah-langkah ini, sejarah maritim Nusantara dapat dipahami sebagai sejarah inovasi, agensi, dan kontribusi nyata terhadap peradaban dunia.


Yogya18112025


DAFTAR PUSTAKA 


Adhyatman, Sumarah, dan Reiza D. Arifin. 1993. Keramik Kuna yang Ditemukan di Indonesia. Jakarta: Ceramic Society of Indonesia.


Ardika, I Wayan. 1997. “New Data on the Beginning of Indian Influences in Bali.” Dalam Southeast Asian Archaeology 1994, disunting oleh P. Bellwood dan D. Tillotson, vol. 2, 219–228. Hull: Centre for South-East Asian Studies.


Ardika, I Wayan. 2015. “Sembiran: Memory and Local Wisdom.” Dalam Uncovering Southeast Asia's Past: Selected Papers from the 13th International Conference of the European Association of Southeast Asian Archaeologists, disunting oleh M. L. P. Tjoa-Bonatz, 89–95. Singapore: NUS Press.


Ardika, I Wayan, dan Peter Bellwood. 1991. “Sembiran: The Beginnings of Indian Contact with Bali.” Antiquity 65(247): 221–232.


Begley, Vimala. 1983. “Arikamedu Reconsidered.” American Journal of Archaeology 87(4): 461–481.


Bellina, Bérénice. 2014. “Maritime Silk Roads’ Ornament Industries: Socio-Political Practices and Cultural Transfers in the South China Sea.” Cambridge Archaeological Journal 24(3): 345–377.


Bellina, Bérénice, dan Pira Silapanth. 2006. “Weaving Cultural Identities on Trans-Asiatic Networks: Upper Thai–Malay Peninsula—An Early Socio-Political Landscape.” Bulletin de l'École Française d'Extrême-Orient 93: 257–293.


Bellwood, Peter. 1997. Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago (Edisi Revisi). Honolulu: University of Hawai‘i Press.


Bellwood, Peter. 2017. First Islanders: Prehistory and Human Migration in Island Southeast Asia. Oxford: Wiley Blackwell.


Beyer, H. Otley. 1948. “Outline Review of Philippine Archaeology by Islands and Provinces.” Philippine Journal of Science 77(3–4): 205–390.


Blust, Robert. 2013. The Austronesian Languages (Edisi Revisi). Canberra: Asia-Pacific Linguistics.


Bosch, F. D. K. 1916. “De inscriptie van Keloerak.” Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indië, 1–23.


Bronson, Bennet. 1977. “Exchange at the Upstream and Downstream Ends: Notes toward a Functional Model of the Coastal State in Southeast Asia.” Dalam Economic Exchange and Social Interaction in Southeast Asia, disunting oleh Karl L. Hutterer, 39–52. Ann Arbor: University of Michigan.


Bronson, Bennet. 1992. “Patterns in the Early Southeast Asian Metals Trade.” Dalam Early Metallurgy, Trade and Urban Centres in Thailand and Southeast Asia, disunting oleh Ian Glover dkk., 63–114. Bangkok: White Lotus.


Casparis, J. G. de. 1956. Selected Inscriptions from the 7th to the 9th Century A.D. Bandung: Masa Baru.


Casson, Lionel. 1989. The Periplus Maris Erythraei: Text with Introduction, Translation, and Commentary. Princeton: Princeton University Press.


Christie, Jan Wisseman. 1990. “Trade and State Formation in the Malay Peninsula and Sumatra, 300 B.C.–A.D. 700.” Dalam The Southeast Asian Port and Polity: Rise and Demise, disunting oleh J. Kathirithamby-Wells dan John Villiers, 39–60. Singapore: Singapore University Press.


Christie, Jan Wisseman. 1995. “State Formation in Early Maritime Southeast Asia: A Consideration of the Theories and the Data.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 151(2): 235–288.


Flecker, Michael. 2001. “A Ninth-Century Arab or Indian Shipwreck in Indonesian Waters.” International Journal of Nautical Archaeology 30(2): 199–217.


Francis, Peter, Jr. 1990. “Glass Beads in Asia, Part Two: Indo-Pacific Beads.” Asian Perspectives 29(1): 1–23.


Francis, Peter, Jr. 2002. Asia’s Maritime Bead Trade: 300 B.C. to the Present. Honolulu: University of Hawai‘i Press.


Greif, Avner. 1989. “Reputation and Coalitions in Medieval Trade: Evidence on the Maghribi Traders.” Journal of Economic History 49(4): 857–882.


Greif, Avner. 1993. “Contract Enforceability and Economic Institutions in Early Trade: The Maghribi Traders’ Coalition.” American Economic Review 83(3): 525–548.


Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, dan Sonny Wibisono. 2003. Barus Seribu Tahun yang Lalu. Jakarta: KPG & École française d'Extrême-Orient.


Hall, Kenneth R. 1985. Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia. Honolulu: University of Hawai‘i Press.


Hall, Kenneth R. 2011. A History of Early Southeast Asia: Maritime Trade and Societal Development, 100–1500. Lanham: Rowman & Littlefield.


Horridge, Adrian. 1982. The Lashed-Lug Boat of the Eastern Archipelagos. Greenwich: National Maritime Museum.


Kathirithamby-Wells, Jeyamalar. 1990. “Introduction: An Overview.” Dalam The Southeast Asian Port and Polity: Rise and Demise, disunting oleh J. Kathirithamby-Wells dan John Villiers, 1–16. Singapore: Singapore University Press.


Krahl, Regina, John Guy, J. Keith Wilson, dan Julian Raby, ed. 2010. Shipwrecked: Tang Treasures and Monsoon Winds. Washington, D.C.: Arthur M. Sackler Gallery.


Kulke, Hermann. 1986. “The Early and the Imperial Kingdom in Southeast Asian History.” Dalam Southeast Asia in the 9th to 14th Centuries, disunting oleh David G. Marr dan A. C. Milner, 1–22. Singapore: ISEAS.


Lankton, James W., Omotayo A. Ige, dan Thilo Rehren. 2006. “Early Primary Glass Production in Southern Nigeria.” Journal of African Archaeology 4(1): 111–138.


Liebner, Horst H. 2014. “The Siren of Cirebon: A Tenth-Century Trading Vessel Lost in the Java Sea.” Disertasi Ph.D., University of Leeds.


Manguin, Pierre-Yves. 1985. “Late Medieval Asian Shipbuilding in the Indian Ocean: A Reappraisal.” Moyen Orient & Océan Indien 2(2): 1–30.


Manguin, Pierre-Yves. 1989. “The Trading Ships of Insular Southeast Asia: New Evidence from Indonesian Archaeological Sites.” Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, vol. IIb, 200–220. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.


Manguin, Pierre-Yves. 1993. “Trading Ships of the South China Sea: Shipbuilding Techniques and Their Role in the History of the Development of Asian Trade Networks.” Journal of the Economic and Social History of the Orient 36(3): 253–280.


Manguin, Pierre-Yves. 2004. “The Archaeology of the Early Maritime Polities of Southeast Asia.” Dalam Southeast Asia: From Prehistory to History, disunting oleh Ian Glover dan Peter Bellwood, 282–313. London: RoutledgeCurzon.


Manguin, Pierre-Yves. 2009. “The Archaeology of Early Maritime Polities of Southeast Asia.” Dalam Advances in Southeast Asian Archaeology, disunting oleh Bérénice Bellina dkk., 282–313. Bangkok: River Books.


Manguin, Pierre-Yves, dan Agustijanto Indradjaja. 2006. “The Archaeology of Batujaya (West Java, Indonesia): An Interim Report.” Dalam Uncovering Southeast Asia’s Past, disunting oleh Elisabeth A. Bacus dkk., 245–257. Singapore: NUS Press.


Miksic, John N. 2003. “The Beginning of Trade in Ancient Southeast Asia: The Role of Oc Eo and the Lower Mekong River.” Dalam Art and Archaeology of Fu Nan, disunting oleh James C. M. Khoo, 1–34. Bangkok: Orchid Press.


Miksic, John N. 2013. Singapore and the Silk Road of the Sea, 1300–1800. Singapore: NUS Press.


Miller, J. Innes. 1969. The Spice Trade of the Roman Empire, 29 B.C. to A.D. 641. Oxford: Clarendon Press.


Reid, Anthony. 1988. Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680: Volume One. New Haven: Yale University Press.


Schafer, Edward H. 1963. The Golden Peaches of Samarkand: A Study of T’ang Exotics. Berkeley: University of California Press.


Scott, William Henry. 1982. “Boat-Building and Seamanship in Classic Philippine Society.” Philippine Quarterly of Culture and Society 10(4): 253–289.


Tibbetts, G. R. 1979. A Study of the Arabic Texts Containing Material on South-East Asia. Leiden: Brill.


van der Hoop, A. N. J. Th. à Th. 1941. “Catalogus der Praehistorische Verzameling.” Oudheidkundig Verslag 1941: 1–304.


Wang Gungwu. 1958. “The Nanhai Trade: A Study of the Early History of Chinese Trade in the South China Sea.” Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society 31(2): 1–135.


Wheatley, Paul. 1959. “Geographical Notes on Some Commodities Involved in Sung Maritime Trade.” Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society 32(2): 1–140.


Wheatley, Paul. 1961. The Golden Khersonese: Studies in the Historical Geography of the Malay Peninsula before A.D. 1500. Kuala Lumpur: University of Malaya Press.


Wicks, Robert S. 1983. “A Survey of Native Southeast Asian Coinage circa 450–1850: Documentation and Typology.” Disertasi Ph.D., Cornell University.


Wicks, Robert S. 1992. Money, Markets, and Trade in Early Southeast Asia: The Development of Indigenous Monetary Systems to AD 1400. Ithaca: Cornell Southeast Asia Program.


Wolters, O. W. 1967. Early Indonesian Commerce: A Study of the Origins of Srivijaya. Ithaca: Cornell University Press.


Wolters, O. W. 1982. History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspectives. Singapore: ISEAS.


Wolters, O. W. 1999. History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspectives (Edisi Revisi). Ithaca: Cornell Southeast Asia Program.


Foto hanya pemanis


و الحمد لل.ّّ ربّ العالمين 

صلّى اللّه على محمّد

0 comments:

Post a Comment