HARTABUTA :
Selasa, 4-2-2025.
Tafsiir Bagian I
[4/2 02.05] SUHU PSPB RONGGOLAWEZ21:
Wilwatikta Mojopahit
https://www.facebook.com/share/p/19xkqPY7kW/
Wilwatikta, Puncak Peradaban Nusantara
(Tafsir Sejarah Kerajaan Majapahit Seri ke-1)
Antara Kain Gringsing dan Keris Surya Panuluh
Ditulis Oleh :
Nanang Sutrisno
Admin Majapahit Bumi Wilwatikta
Pertempuran tak terelakkan, Saat Dyah Sangramawijaya, atau yang juga dikenal dengan nama Raden Wijaya bertemu dengan pasukan perusuh yang membuat kekacauan di Desa Mameling yang merupakan desa terdekat pintu gerbang wilayah Istana Singasari.
Tempik sorak pasukan penyerbu itu, terdengar riuh rendah, menggelegar dan membahana, semangat mereka makantar-kantar, mengerikan dan menakutkan.
Sementara jerit tangis para penduduk desa yang kebanyakan adalah kaum perempuan dan anak-anak menambah suasana kekacauan, mereka berlarian, berhamburan tak tentu arah, setelah menyaksikan rumah-rumah mereka dijarah dan dibakar oleh kaum perusuh yang menyerbu dengan liar dan barbar.
Bersenjatakan Pedang di tangan kanan dan Keris Surya Panuluh di tangan kiri, Raden Wijaya, langsung memasuki kancah pertempuran, dengan menggunakan jurus Sundang Majapahit, dia mengamuk laksana banteng ketaton/terluka. Kedua pusakanya itu melesat ke kanan dan ke kiri melukai tubuh musuh yang berusaha mengepungnya.
Walaupun Raden Wijaya dan pasukannya terus mengamuk dan mendesak musuh, namun keberadaan pasukan penyerbu itu terlampau banyak untuk dihadapi, seakan-akan seperti gelombang pasang di lautan yang tidak henti-hentinya menerjang karang
Pertempuran berlanjut sampai ke Desa Kapulungan (Kecamatan Gempol Kabupaten Pasuruan), terus ke Desa Jasun Wungkal, nama Jasun Wungkal berarti batu asah (Sekarang bernama Watu Kosek, dekat Pusat Pendidikan Brigade Mobil/Brimob, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto)
Dari Jasun Wungkal, bersama pasukannya yang tersisa tinggal 600 orang, Raden Wijaya melanjutkan pelarian ke Rabut Carat (Kecamatan Gempol Kabupaten Pasuruan), dari sini menyeberangi Sungai Porong.
Jalur pelarian berlanjut ke Desa Pamwatan Apajeg (Desa Pamotan Kecamatan Porong kabupaten Sidoarjo), diteruskan menuju Desa Kedung Peluk (Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo).
Karena terus di desak pasukan musuh, Raden Wijaya membawa pasukannya menuju
Desa Trung (Kecamatan Krian Kabupaten Sidoarjo). Pakuwon Trung dipimpin oleh seorang Akuwu yang setia kepada Singasari.
"Kelak kesetiaan Trung juga ditunjukkan saat Majapahit berperang melawan Demak, Adipati Trung memimpin pasukannya menghadapi serbuan Kerajaan Demak yang dipimpin Sunan Ngudung," kata Admin Majapahit Bumi Wilwatikta, Nanang Sutrisno.
Di Trung, pasukan ini istirahat untuk mengumpulkan kekuatan dan kembali melanjutkan perjalanan pada malam hari.
Dari Trung, meneruskan pelarian ke Desa Kembangsri (Desa Bangsri Kecamatan Sukodono Kabupaten Sidoarjo), langit memerah saat Raden Wijaya mencapai desa tersebut.
Karena kembali bertemu Pasukan Gelang-gelang, maka Raden Wijaya membawa pasukannya menyebrangi Sungai Brantas, dan menuju Desa Gilang dan Desa Krembangan (Sekarang Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo) kemudian melintasi Desa Bambe (Kecamatan Driyorejo, Kabupaten Gresik)
Saat menyeberangi Sungai Brantas, banyak pasukan Raden Wijaya tewas, baik yang terluka oleh panah , maupun tenggelam akibat arus sungai yang deras.
" Pasukan yang tersisa hanya tinggal dua belas orang saja, diantaranya Gajah Pagon, Sora, Nambi,Wirot, Medang Dangdi, Mahisa Pawagal, Pamandana, Banyak Kapuk, dan Lembu Kapetengan," jelas pemerhati sejarah ini.
Setelah melewati Desa Bambe, perjalanan berlanjut menuju Desa Kudadu yang masih berada di tepian Sungai Mas, salah satu anak Sungai Brantas (Kudadu sekarang dikenal nama Kedurus, Kecamatan Karang Pilang Kota Surabaya)
Di Desa Kudadu, Pasukan Singasari yang tinggal belasan orang tersebut beristirahat, Raden Wijaya tidak hanya dijamu dengan makanan, tetapi juga diperlakukan dengan sangat istimewa oleh Ki Buyut Macan Kuping yang merupakan Kepala Desa setempat,
Bahkan Raden Wijaya juga mempercayakan diri untuk menitipkan Gajah Pegon, salah satu iparnya yang terkena tusukan tombak di pahanya saat melakukan pelarian.
Upaya tersebut dilakukan agar keberadaan putra Prabu Kertanegara itu bisa segera mendapatkan perawatan dan tidak menggangu upaya pelariannya.
Raden Wijaya kemudian membagikan kain merah bermotif Geringsing kepada para pengikutnya untuk dipergunakan sebagai cawat penutup, konon kain Geringsing pemberian dari Ki Buyut Macan Kuping tersebut diyakini memiliki kekuatan tertentu, karena sudah dirapal dengan rajah dan mantra.
Kelak nama Desa Kudadu dan kebaikan Kepala Desa Buyut Macan Kuping mendapatkan anugerah Desa Swatantra/ Perdikan dan dicatat dalam Prasasti Kudadu yang berangka Tahun 1294 Masehi.
Dari Desa Kudadu, Perjalanan pelarian berlanjut ke Rembang atau Desa Krembangan, dan menyebrang menuju Pulau Madura untuk kemudian menuju Songeneb/ Sumenep menemui Adipati Arya Wiraraja yang berkuasa disana (Krembangan adalah satu Kecamatan yang ada di sekolah Utara Kota Surabaya)
Awalnya Raden Wijaya bersama pasukan segelar sepapan mendapatkan tugas mengejar pasukan perusuh dari Kerajaan Gelang-gelang (Terletak di Ngurawan Dusun Ngrawan, Desa Dolopo, Kecamatan Dolopo, Kabupaten Madiun, Jawa Timur) yang dipimpin oleh Prabu Jayakatwang keturunan Prabu Kertajaya, Raja Kerajaan Kadiri.
Pasukan yang sedang membuat kekacauan dan penjarahan di Desa Mameling tersebut dibawah pimpinan Senapati Jaran Guyang. Sebenarnya pasukan ini tidak lebih dari pasukan bayaran yang terdiri dari para pendekar yang sengaja direkrut untuk membuat kerusuhan dan kekacauan selama proses penyerbuan ke Singasari.
Paras tampan Raden Wijaya, tampak terlihat lelah, keringatnya mengucur deras membasahi wajahnya.
Lelaki muda menantu Prabu Kertanegara tersebut, konon mewarisi ketampanan ayahnya, Dyah Lembu Tal.
Sosok Dyah Lembu Tal adalah putra dari Mahisa Cempaka, sedangkan Mahisa Cempaka adalah anak dari Mahisa Wunga Telang yang merupakan keturunan Ken Angrok dan Ken Dedes.
Sedangkan menurut naskah Wangsakerta, Ayah dari Raden Wijaya adalah Rahiang Jayadarma, penguasa Kerajaan Jayagiri, putra dari Prabu Guru Darmasiksa, Raja Kerajaan Pajajaran.
Sedangkan ibunya adalah Dewi Naramurti atau Dyah Lembu Tal, putri Mahisa Cempaka.
"Salah satu bukti yang menguatkan adalah penyebutan gelar Raden pada nama Raden Wijaya, Raden berasal dari kata Rahadian yang lazim digunakan oleh para Pangeran di Kerajaan Tatar Pasundan," ungkap kolektor buku sejarah ini
Kekerabatan antara Raden Wijaya dengan istrinya, Gayatri Rajapatni terbilang sangat dekat, sama-sama keturunan Ken Dedes. Jika Raden Wijaya berasal dari garis Ken Arok dan Ken Dedes, maka istrinya adalah keturunan langsung dari Tunggal Ametung dan Ken Dedes, melalui jalur Anusapati, Ranggawuni, dan Kertanegara.
Selain mengambil menantu Raden Wijaya, prabu Kertanegara juga menjadikan Ardharaja putra Prabu Jayakatwang Raja Gelang-gelang sebagai menantunya, dan dikawinkan dengan putri sulungnya yang bernama Dyah Dewi Tribhuwaneswari.
Prasasti Mula-Malurung berangka tahu 1255 Masehi mencatat garis kekerabatan ini, Prabu Jayakatwang adalah suami dari Nararya Turukbali, kakak kandung Prabu Kertanegara, jadi hubungannya selain besan adalah ipar.
Wajar saja jika hubungan kekerabatan dengan Ardharaja lebih dekat. Hal ini menjadikan Ardharaja memiliki kedudukan penting dibandingkan dengan Raden Wijaya.
Jika Ardharaja memegang jabatan sebagai Senapati pengaman Kutaraja, maka, kedudukan Raden Wijaya hanyalah salah seorang wakilnya
Pada saat menghadapi serangan pasukan Kerajaan Gelang-gelang, Raden Wijaya hanyalah pendamping Ardharaja selaku Senapati Utama.
Namun karena Ardharaja membelot, dan memilih berpihak kepada Jayakatwang yang tidak lain adalah ayahnya sendiri. Maka mau tidak mau Raden Wijaya harus mengambil alih pasukan dalam menghadapi Pasukan Gelang-gelang.
Berbekal arahan dan nasehat dari Arya Wiraraja, akhirnya Raden Wijaya berhasil mengalahkan Kerajaan Gelang-gelang yang telah berpindah di Kadiri
Dengan memperdaya Pasukan Mongol atau Cathay Nagari pimpinan Panglima Ike Mesa, Chepi, dan Khausing yang datang ke Tanah Jawa dengan tujuan menghukum Prabu Kertanegara yang dianggap telah menentang Kaisar Mongol, Kubilai Khan, dan melukai Utusan Mengki, Pasukan Gabungan Majapahit, Madura, dan Mongol berhasil menjebol benteng pertahanan Kadiri, dan berhasil menawan Prabu Jayakatwang berikut Putra Mahkota Pangeran Ardharaja.
Setelah berhasil menguasai keadaan dan mendirikan Kerajaan Majapahit, Dan menobatkan Raden Wijaya sebagai raja, untuk menjamin keberlangsungan kekuasaan, maka Raden Wijaya mengambil langkah strategis dengan mengawini bekas istri Ardharaja yaitu Dyah Dewi Tribhuwaneswari.
Selain itu dia juga mengawini putri Prabu Kertanegara yang lain yaitu Sri Maha Dewi Dyah Nahendraduhita, dan Sri Jayendra Dewi Prajna Paramita.
Pada saat Pasukan Pamalayu yang dipimpin oleh Mahisa Anabrang kembali ke Jawa dengan membawa dua putri persembahan yaitu Dara Petak dan Dara Jingga, Mahisa Anabrang menerima kenyataan pahit bahwa Singasari telah runtuh dan menjadi Kerajaan Majapahit
Mau tidak mau Mahisa Anabrang harus mengambil sikap menghadapi kenyataan ini, dan dia memilih untuk menyatakan setia kepada Majapahit dan menjadi bagian dari pemerintahan yang dipimpin oleh saudara iparnya tersebut.
Sementara Putra Mahkota Singasari, Wiswarupa Kumara yang sedang berada di Melayu, beserta putra Kertanegara yang lain yaitu Adwadya Brahma memilih untuk tetap tinggal di Melayu, hal ini untuk mencegah perang saudara diantara para kerabat Istana Singasari.
Dara Petak yang sedianya diperuntukkan kepada Prabu Kertanegara, kemudian dikawini oleh Raden Wijaya, sementara Dara Jingga diperistri oleh Dyah Adwadya Brahma.
Kelak Dara Petak melahirkan Prabu Jayanegara, Raja pengganti Raden Wijaya, sementara Dara Jingga menurunkan Adityawarman, salah satu panglima perang Kerajaan Majapahit saat menaklukkan belahan barat Nusantara. (nanang)
Keterangan Gambar :
1. Gambar Ilustrasi Wajah Raden Wijaya.
2. Gambar Ilustrasi Suasana Pertempuran Raden Wijaya Melawan Tentara Gelang-gelang
و الحمد للّه ربّ العالمين
صلّى اللّه على محمّد
0 comments:
Post a Comment