HARTABUTA :
Sabtu, 19-4-2025.
_(Tulisan sederhana sebagai ikhtiar menterjemahkan Konsep Nawa Mustika Jatman NU dari Mudir Idarah 'Aliyah Jatman NU, *Prof. Dr. KH. Ali Masykur Musa*)_
*BAB I (Lanjutan). EPILOG FILOSOFIS: IBNU 'ARABI DAN AKAR RUHANI SUFISME POLTIK*
Oleh: *Abdur Rahman El Syarif*
Dalam sejarah sufisme, kekuasaan bukan hanya tentang istana, jabatan, atau tahta. Ia adalah medan tempat nilai-nilai ruhani bertarung dengan nafsu duniawi. Dan tak ada tokoh yang lebih dalam menggambarkan pertarungan ini selain Ibnu ‘Arabi (1165–1240), sang Syaikh al-Akbar, seorang sufi sekaligus pemikir besar dari Andalusia.
Meski tidak dikenal sebagai pemimpin tarekat atau penggerak politik, pemikiran Ibnu 'Arabi menjadi fondasi filosofis sufisme politik. Ia tidak membangun kekuasaan, tetapi membangun cara berpikir tentang kekuasaan. Ia tidak memimpin pasukan, tetapi menyusun peta ruhani yang kelak diikuti oleh banyak tokoh sufi politik dari Maroko hingga Nusantara.
*Al-Insan al-Kamil: Model Kepemimpinan Ruhani*
Dalam magnum opus-nya 'Futuhat al-Makkiyah', Ibnu ‘Arabi menjelaskan konsep al-Insan al-Kamil, manusia yang telah menyempurnakan dirinya, menjadi cermin dari sifat-sifat Ilahi di dunia. Baginya, pemimpin sejati bukanlah siapa yang duduk di singgasana, melainkan siapa yang mengalami fana dalam Allah dan kembali dengan baqa untuk memimpin umat. Para sufi politik di kemudian hari sering dipandang dan memandang diri mereka sebagai refleksi dari konsep ini, yakni sebuah konsep pemikiran bahwa mereka bukan sekadar pemimpin sosial, melainkan penuntun ruhani.
*Wilayah: Otoritas yang Melewati Struktur Negara*
Ibnu ‘Arabi juga menegaskan bahwa “Wali” lebih tinggi dari raja dalam urusan batin dan panduan ilahiah. Wali adalah pewaris Nabi dalam pengetahuan dan kehadiran ruhani, bahkan jika ia tak dikenal publik atau tidak memegang kekuasaan resmi. Inilah benih dari ide “otoritas tak terlihat” dalam sufisme politik yang begitu nyata dalam peran para mursyid tarekat terhadap para sultan atau rakyat.
Melalui konsep wilayah, Ibnu ‘Arabi membalikkan hirarki kekuasaan: yang tampak kuat belum tentu berkuasa, dan yang tersembunyi bisa jadi pengatur zaman.
Pemikiran Ibnu ‘Arabi menyebar ke Damaskus, Kairo, Istanbul, dan seluruh dunia Islam. Ia membentuk mentalitas dan spiritualitas para sufi yang memandang kekuasaan sebagai amanah, bukan warisan dunia. Di tangan para pengikutnya baik langsung maupun kultural, ajaran ini menyatu dengan kehidupan politik.
Beberapa contoh para sufi dan para wali dalam perannya sebagai penerang jalan bagi para penguasa dalam menjalankan roda pemerintahannya demi sebesar-besarnya kemaslahatan umat telah dikisahkan dalam berbagai literatur, seperti:
• Para wali di era Kesultanan Utsmaniyah (seperti Aziz Mahmud Hüdayi) menasihati sultan dengan semangat ‘Arabi.
• Di tanah Melayu, pemikiran ini meresap melalui ulama seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, yang membentuk mentalitas kepemimpinan ruhani di tengah pergeseran sosial.
Ibnu ‘Arabi membuka mata hati kita bahwa kekuasaan tidak selalu berada di istana, dan pengaruh tidak selalu datang dari mulut penguasa. Kadang, ia lahir dari sujud panjang seorang sufi yang tak dikenal, dari lembaran kitab yang dibaca dalam sunyi, atau dari ruh seorang wali yang hidup di antara dua dunia.
"Raja yang sejati adalah dia yang menguasai dirinya sendiri sebelum menguasai orang lain," tulis Ibnu ‘Arabi. Dan dari pemikiran itulah, JEJAK RUHANI DI PANGGUNG KEKUASAAN itu bermula.
(Bersambung ke BAB 2)
https://www.facebook.com/share/p/1EPQgodBmg/
و الحمد للّه ربّ العالمين
صلّى الله على محمّد
No comments:
Post a Comment