Saturday, January 13, 2024

Apakah Tulisan Dr. KH. Fahrur Rozi Mampu Mengakhiri Polemik Nasab Ba Alawi ?

HARTABUTA :

Sabtu, 13-1-2024.

[10/1 12.34] SUHU PSPB RONGGOLAWEZ21: 

https://rminubanten.or.id/apakah-tulisan-dr-kh-fahrur-rozi-mampu-mengakhiri-polemik-nasab-ba-alawi/

RMI PWNU Banten

Apakah Tulisan Dr. KH. Fahrur Rozi Mampu Mengakhiri Polemik Nasab Ba Alawi?

Admin by Admin  7 Desember 2023 14 min read

Mudahnya Melontarkan Tuduhan Demi Membela Polemik Nasab Ba Alwi

Menjawab Sang Pembela Ba Alwi

Mendukung PBNU Menguatkan NU

Ini Sanad Syaikh Yasin Al-Fadani Yang Asli

 

Oleh: Abdul Aziz Jazuli, Lc, MH.


Artikel yang beliau tulis sebenarnya cukup lama, di bulan Juli lalu. Sayangnya saya mendapatkan artikel itu baru-baru ini. Sehingga baru saya telaah argumentasi-argumentasi yang beliau suguhkan dalam menguatkan nasab Ba Alawi. Saya memandang bahwa  polemik nasab Ba Alawi saat ini merupakan masa “Kebangkitan Pengetahuan”, khususnya dalam ilmu sejarah dan ilmu nasab. Dulunya para santri, para ustadz dan para kyai sama sekali tidak perduli, bahkan terkesan acuh terhadap ilmu nasab. Tapi sekarang sudah berubah 180 derajat. Sekarang mereka mulai membuka-buka kitab-kitab nasab, kitab-kitab sejarah, kitab sanad dan biografi para ulama-ulama terdahulu. Bahkan kitab sejarah/tarikh yang penulisnya adalah ulama-ulama di abad-abad antara 4-9 H. Sebuah kebangkitan yang luar biasa yang patut disyukuri oleh seluruh ummat Islam, khususnya di Indonesia. Saya termasuk di antara santri-santri yang tergugah untuk kembali membuka-buka dan menelaah kitab nasab serta kitab sejarah. 


Kembali lagi ke tulisan Kyai Fahrur yang berjudul “Mengakhiri Polemik Nasab Ba’alawi”, saya tertarik untuk menelaah argumen-argumen yang beliau gunakan untuk mempertahankan nasab Ba’alawi. Apakah benar tulisan beliau mampu mengakhiri polemik nasab Ba alawi? Ya meskipun -menurut saya- mayoritas hujjahnya berkutat kepada “syuhroh dan istifadhoh”, “Tidak disyaratkannya kitab sezaman”, “tidak disebutkan bukan berarti tidak ada”, dan lain sebagainya yang akan saya ulas di bawah ini. Langsung saja dengan tidak berlama-lama, mari kita kaji bagaimana argumentasi yang digunakan dalam penetapan nasab Ba alawi.


Apakah Setiap Orang Dipercaya Dalam Pengkuan Nasabnya ? 


Kiai Fahrur menggunakan statemen Imam Malik 


النَّاسُ مُؤْتَمَنُوْنَ عَلَى أَنسَابِهِمْ


  “manusia itu dipercaya atas pengakuan nasabnya”. 


Kemudian beliau menggunakan riwayat imam Bukhori bahwa Rasulullah saw tidak pernah mempertanyakan dalil atau saksi di dalam nasab. 


Mari kita renungi bersama-sama bagaimana pandangan dari para pakar nasab dalam mengomentari stetmen imam Malik di atas. Tentu lebih faham pengaplikasiannya di dalam ilmu nasab, terlebih lagi jika nasab yang diklaim adalah nasab keturunan Rasulullah saw, maka tentu akan memiliki nilai yang berbeda dengan nasab-nasab yang lain. 


Abdurrahman Al Qoroja mengomentari statemen imam Malik bahwa ungkapan tersebut tidak dapat digunakan secara mutlak, dan sebagian ulama memberikan tambahan kriteria: “selagi tidak mengaku syarif/sayyid”. [al Kafil Muntakhob, hal 61]. 


Bahkan Abdurrahman At Taujini juga memberikan komentar yang berdekatan dengan sebelumnya bahwa itu berlaku dengan syarat: orang yang mengaku-ngaku nasab mengetahui nasabnya, dan meraih nasab tersebut (hiyazah) sebagaimana ia meraih harta benda sampai di tangannya dan jika tidak mencapainya, maka ia harus mendatangkan bukti akan nasabnya, dan menekan dirinya untuk mendatangkannya. [Kholil al Zulai’i, Muqoddimat fi Ilmil Ansab, hal 56].  


Maka jelaslah bahwa tidak semua orang dapat dipercaya dalam pengakuan nasab, terlebih lagi ketika dirinya mengaku-ngaku sebagai keturunan Rasulullah saw. Karena jika pintu ini dibuka, maka siapapun bisa mangaku-ngaku sebagai keturunan Rasulullah saw, meskipun tanpa bukti dan dalil. Apalagi hanya sekedar berargumen dengan syuhroh dan istifadhoh yang cacat itu. 


Syuhroh Dan Istifadhoh. 


Kyai Fahrur menuliskan: “Secara ilmu fiqh telah diatur bahwa cara pengakuan nasab adalah dengan syuhroh dan istifadhoh yakni telah terkenal secara luas dalam masyarakat di sebuah wilayah bahwa si Fulan adalah keturunan si Fulan tanpa ada bantahan dan sanggahan dari ulama yang otoritatif yang dibenarkan secara syariah”


Di sini saya dapat  memahami bahwa beliau tidak terlalu mendalami istilah yang digunakan di dalam kitab-kitab nasab, dan beliau hanya mengacu kepada kitab-kitab fiqih seperti Muhgnil Muhtaj, Nihayatul Mathlab, al Hawil Kabir, dsb. Sehingga di dalam mendefinisikan dan menggambarkan syuhroh dan istifadhoh tidak seperti yang digambarkan di dalam kitab-kitab nasab. Husain Haidar al Hasyimi menyebutkan kriteria syuhroh dan istifadhoh yang diterima di dalam pengitsbatan nasab sebagaimana berikut: 


فَحَاصِلُ ضَوابطِ هذِه الطَّريقةِ هي: (1) الاستِفاضَةُ في السَّمَاعِ استفاضةً تُورِثُ عِلْمًا أَو ظنًّا قَوِيًّا (2) انتفاءُ المعَارَضَةِ في العمومِ والخصوصِ أو في الوَثَائِقِ البيِّنَات (3) قِدَمُ النِّسبَةِ والشُّهرَةِ (4) أن تكونَ الشهرةُ في قَبيلتِه أَو في البَلَدِ الأَصليِّ لَا في بَلَدِ هِجرَتِه. 


“Kesimpulan kaidah-kaidah (dalam) cara ini (syuhroh dan istifadhoh) ialah: (1) tersebarnya kemasyhuran yang membuahkan keyakinan atau sangkaan yang kuat. (2) tidak adanya penentangan secara umum dan khusus, atau di dalam catatan-catatan yang jelas (3) tuanya nasab dan kemasyhuran. (4) syuhrohnya berada di kabilah (asalnya), atau daerah asalnya, bukan di daerah hijrahnya.” [Husain Haidar, Rosail fi Ilmil Ansab, hal 103].  


Jika saya diperkenankan bertanya: Apakah nasab baalawi sudah memenuhi syarat syuhroh dan istifadhoh? Padahal kemasyhuran nasab Baalawi baru mulai dikenal semenjak masa Ali bin Abu Bakar As Sakron (w. 895 H) sebagaimana penuturan Ahmad bin Abdul Karim al Hasawi (murid Habib Abdullah al Haddad). Bahkan lebih dari itu, silahkan anda buka di dalam kitab al Masyrour Rowi bahwa pengitsbatan nasab Baalawi sebanyak dua kali: pertama di masa Ubaidillah dengan 300 saksi dari penduduk Iraq, dan 300 saksi dari penduduk Hadramaut ketika melaksanakan ibadah haji di Mekah. Dan kali yang kedua adalah di masa Ali bin Muhammad Jadid (w. 620 H) yang biografinya disebutkan di kitab-kitab Baalawi, ia juga yang melakukan pengitsbatan nasab Baalawi dengan saksi ratusan orang baik dari penduduk Iraq atau para Jamaah haji yang hadir di saat itu. Informasi ini hanya dapat ditemukan di kitab-kitab internal Baalawi dan tidak saya temukan sama sekali di kitab-kitab eksternal Baalawi.  Dari ratusan orang ini, bahkan bisa jadi lebih dari seribu orang, siapa saja yang menyaksikan pengitsbatan nasab baalawi ini ?? apakah logis jika satu kejadian yang disaksikan oleh ratusan orang bahkan ribuan orang tapi tak satupun dari mereka –khususnya kalangan ulama yang hadir di dalam kejadian itu- yang menyebutkan dan menjadi saksi atas kebenaran pengitsbatan nasab itu ??. Maka jika tidak bisa dibuktikan dengan data, maka kuatlah indikasi bahwa kedua kisah tersebut adalah kisah yang fiktif; karena tidak dikuatkan dengan data. 


Fakta Sejarah Kitab Hadist. 


Kyai Fahrur menyatakan bahwa tidak ada catatan hadist pada masa Rasulullah saw. Pencatatan hadist mulai dilakukan seabad setelahnya. 


Saya tidak setuju dengan statemen ini; karena di dalam riwayat imam Bukhori di dalam Jami’ Shohihnya, imam Ahmad di dalam Musnadnya: 


عن أبي ‌هريرة  رضي الله عنه يقول: (مَا كانَ أحدٌ أعلمَ بحديثِ رسول الله صلى الله عليه وسلم مني، إلا ما كان مِن عبد الله بن عمرٍو، فإنّه كان يَكتُبُ بِيَدِه، ويَعِيْهِ بِقَلبِه، وكنتُ أَعِيْهِ بِقَلبي، ‌ولا ‌َأَكتُبُ بِيَدِي، واستأذَنَ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم في الكِتَابِ عَنهُ، فَأَذِنَ لَهُ). 


 Dari Abu Hurairah ra berkata: “Tidaklah ada seseorang yang lebih mengetahui tentang hadist Rasulullah saw dari pada diriku, kecuali dari Abdullah bin Amr; karena dia menulis dengan tangannya dan memahaminya dengan hatinya. Sementara aku tidak menulis dengan tanganku. Dia meminta izin kepada Rasulullah saw dalam menulis dari Rasulullah saw darinya, maka Rasulullah saw memberinya izin”. HR Bukhori, Ahmad, Ad Darimi, dll. 


Atsar ini sangat jelas bahwa di masa Rasulullah saw sudah terdapat catatan hadist. Dan tidak perlu menunggu sampai ke abad berikutnya untuk mendapatkan catatan hadist. Tentu kyai Fahrur tau bahwa di dalam ilmu mustholahul hadist dalam pembahasan hadist shohih bahwa seorang rowi harus memiliki sifat “dhobth” (tepatnya riwayat), dan dhobth ada dua macam: dhobtus shodr (tepatnya riwayat dalam hafalan) dan dhobtul kitabah (tepatnya riwayat dalam tulisan). Jadi, tidak semua riwayat hadist berdasarkan hafalan, bahkan banyak perowi yang kuat hafalannya di akhir umurnya malah mengalami ikhtilat. Berbeda dengan periwayatan hadist melalui kitab/tulisan, ia lebih terjaga dari pada hafalan, tentunya dengan syarat dan ketentuan yang berlaku dalam ilmu hadist agar dapat diterima. Meskipun kodifikasi hadist di dalam sebuah kitab atau karya yang menghimpun hadist-hadist Rasulullah baru dapat dijumpai di abad ke 2 H.   


Jika di masa Rasulullah saw saja terdapat tulisan hadist apalagi al Qur’an, maka di masa-masa berikutnya tentu lebih berkembang lagi. Apalagi hanya sekedar mencari nama “Ubaidillah” yang dikatakan sebagai “imam”, “dzuriyah rasul”, “ilmunya tersebar ke segala penjuru”, “banyak murid-muridnya”, dan ungkapan-ungkapan “wah” lainnya yang menunjukkan akan kebesaran nama tokoh ini !!. 


Nasab Baalawi: 


Kyai Fahur berkata: “Sebetulnya banyak sekali di antara ahli nasab dan sejarawan yang telah menulis dan menetapkan nasab moyang marga Ba Alawi, diantara mereka adalah….:”


Statemen ini betul, tapi sejak abad berapa ulama-ulama dan sejawan yang menetapkan nasab Baalawi ?? Apakah Jadid terkonfirmasi sebagai saudara dari Alwi bin Ubaidillah ?? dan bagaimana dengan penafsiran Ali bin Abi Bakar As Sakron bahwa Ubaid adalah tokoh yang sama dengan Abdullah ?? semuanya disebutkan di dalam kitab al Burqoh al Musyiqoh tanpa mendatangkan sedikitpun hujjah dan dalil yang memperkuatnya, hanya sekedar mengutip dari kitab As Suluk dan Mukhtashornya. Lalu menafsirkan bahwa Ubaid adalah Ubaidillah, dan Ubaidillah adalah Abdullah. Itu adalah nama-nama yang berbeda dari satu tokoh, meski tanpa dalil.  


Kitab As Suluk karya imam Baha’uddin al Janadi memang menyebutkan nasab Ali bin Muhammad bin Jadid secara lengkap sampai kepada Abdullah bin Ahmad bin Isa. Tetapi perlu dikaji ulang. Karena jika melihat jumlah nama dalam ‘amudun nasab pada Ali bin Muhammad bin Jadid kepada Abdullah bin Ahmad bin Isa ditemukan nasabnya berbeda-beda. Dalam sebagian naskah ada menyebut 5 nama, sebagian lagi ada 6 nama, sebagian lagi ada 7 nama. Bahkan penyebutan “bin” pada Ali bin jadid di dalam kitab al ‘Iqduts Tsamin fi Tarikh al Baladil Amin (6/249) karya Taqiyyuddin al Fasi (w. 832 H) sedikit berbeda dengan versi yang biasanya, Ali bin Jadid disebutkan: “Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Jadid”. Padahal dalam versi yang lain disebut: “Ali bin Muhammad bin Ahmad”, bukan Muhammad bin Ahmad. Ditambah lagi dengan beberapa tokoh-tokoh Baalawi yang disebutkan di dalam kitab as Suluk tidak terkonfirmasi sebagai keluarga Baalawi yang tercantum di dalam kitab-kitab Baalawi. Misalnya Bamarwan yang sangat jelas disebutkan oleh Al Janadi sebagai bagian dari keluarga Baalawi. Tetapi oleh kitab-kitab Baalawi malah disebut sebagai guru Faqih Muqoddam, padahal hal itu tercantum secara jelas di dalam as Suluk yang versi cetak bahkan di versi manuskrip-manuskripnya. Hal yang patut disayangkan adalah kitab Tuhfatus Zaman karya Husain al Ahdal yang merupakan ikhtisar atau ringkasan dari kitab As Suluk, ketika menyebutkan Ba Marwan, di sana malah disebut sebagai guru dari Faqih Muqoddam. Saya tidak tahu, apakah itu merupakan interpolasi dari pentahqiqnya: (Abdullah Muhammad al Habsyi Baalawi) atau redaksi kitabnya memang seperti itu ?? Allahu A’lam; karena saya belum mendapatkan manuskrip Tuhfatuz Zaman. Maka kehujjahan as Suluk dalam penetapan nasab Baalawi menjadi mauquf, sampai adanya bukti yang memperkuatnya atau membatalkannya.    


Kitab Abna’ul Imam Karya Ibnu Thobathoba 


Kitab ini adalah salah satu kitab yang problematik, karena penulis awalnya adalah Ibnu Thobatoba, kemudian disalin ulang oleh Ibnu Shodaqoh al Halabi yang dikenal dengan al Warroq (w. 1180 H), dan ditambahi catatan juga oleh Muhammad as Safaroini (w. 1188 H), Muhammad bin Nashshor al Maqdisi (w. 1350). Tidak hanya itu, bahkan muhaqqiq kitabnya yaitu Yusuf Jamalullail pun menambahkan catatan juga atas kitab ini. Sehingga tidak diketahui mana tulisan Ibnu Thobatoba yang asli dan mana tulisan tambahan atas kitab itu. Meski demikian, Yusuf Jamalullail sebagai pentahqiq kitab tersebut tetap menganggap hal itu sebagai perkara yang biasa dan tidak mempengaruhi keotentikan kitab ini [lihat; hal 22]. Tentu ini adalah hal yang mengherankan. Oke lah jika hanya menambahkan catatan tetapi dengan memisahkan mana saja tulisan Ibnu Tobatoba sebagai penyusun aslinya, dan mana saja tambahan-tambahannya, tentu itu tidak bermasalah. Tetapi jika menambahkan suatu materi di dalam kitab dan tidak memisahkan materi asli dan tambahan, maka itu akan mengakibatkan persepsi buruk atas kitab tersebut, dan akan mengakibatkan gugurnya kitab itu sebagai sebuah referensi utama dalam kitab nasab. Mengingat bahwa penulis aslinya adalah ulama nasab di abad ke 5 H. Maka wajar jika Abdurrahman al Qoroja mengkategorikan kitab Abna’ul Imam sebagai kitab yang muntahal (yang dipalsukan/dibelokkan); karena muatan data-datanya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah. [lihat al Kafil Muntakhob, hal 107]  


Kitab Ar Raudhul Jaliy fi Nasab Bani Alawi Mengitsbat Baalawi


Dilihat dari judulnya saja, kitab ini membahas secara khusus tentang nasab Baalawi. Tetapi jika tidak diteliti dan didalami, maka akan diamini seluruh isinyabegitu saja, dan selesai. Padahal jika diteliti tidaklah seperti itu. Kitab ini memiliki banyak kerancuan isi. Di mulai dari kisah kehijrahan Ahmad bin Isa ke Hadramaut, pengutipan dari Mush’ab Az Zubairi, surat menyurat antara al Azwarqoni dan Ali bin Alwi (cucu Faqih Muqoddam), sosok Salim bin Bashri, dan masih banyak lagi. Jika diteliti dan diperdalam, maka itu semua membuahkan kerancuan yang tidak dapat diterima oleh logika. Bahkan muhaqqiq kitab itu sendiri yaitu Muhammad Abu Bakar Badzib juga meragukan penisbatan kitab ini kepada Murtadho Az Zabidi. Maka apakah layak kitab ini disebut sebagai sebuah kitab yang mengitsbat nasab Baalawi ?? jika Kyai Fahrur tidak percaya dengan ini, silahkan telaah saja muqoddimah tahqiq yang disusun oleh pentahqiqnya, maka anda akan menemukan apa yang saya tuliskan di sini. [Muhammad Abu Bakar Ba Dzib, Muqoddimah Tahqiq kitab Ar Raudhul Jaliy, hal 41-49]  


Seandainya kitab itu benar-benar merupakan karya dari Murtadho Az Zabidi, maka pandangan beliau dapat diterima dan dapat ditolak. Sebagaimana penuturan dari Abdurrahman al Qoroja di dalam “al Kafil Muntakhob” (hal 128), beliau berkata: 


أمَّا رأيُ العلماءِ في الزَّبِيدِي.. فَالَّذي أَعلَمُه أنّه لم يذُمَّه أحدٌ إلّا الجبرتي كما قيل، ولم أَقِف عليه، وذلك لأمرٍ بينهما. والصحيحُ: أنّه من النسَّابَة المعتَبَرِين، حالُه مثلُ غيره: يُؤخَذ منه ويُرَدّ. 


 “Adapun pandangan ulama tentang Az Zabidi, maka yang saya ketahui bahwa beliau tidak dinilai cacat oleh seorang pun (dari kalangan ulama), kecuali al Jabarti sebagaimana dikatakan, saya tidak menemukanya, dan itupun karena ada sesuatu antara keduanya. Dan pandangan yang benar bahwa pendapat az Zabidi seperti ulama yang lain, dapat diterima dan dapat ditolak.”


Begitu  juga dengan kitab An Nafhah al Anbariyyah fi Ansab Khoril Bariyyah karya Muhammad Kadzim bin Abil Futuh al Yamani al Musawi, juga dipandang oleh Abdurrahman al Qoroja ia bukanlah hujjah yang kuat meskipun dapat diambil manfaatnya, dan secara mayoritas data-datanya diambil dari penduduk Yaman. [al Kafil Muntakhob, hal 128]


Wal hasil, kesimpulan dari beberapa judul kitab yang disebutkan oleh Kyai Fahrur itu perlu diteliti ulang; karena tidak semua karya-karya ulama dalam hal tarikh atau sejarah dapat dijadikan sebagai dasar utama di dalam keshohihan nasab. Karena kitab-kitab sejarah dan biografi tidak bertujuan untuk menetapkan nasab. Maka Abdurrahman al Qoroja menuliskan: 


مصادر ليست غايتها الأنساب: كتب التراجم والتاريخ: هذه المصادر عموما ليس من غايتها تحقيق الأنساب، على قدر تناول الجوانب الشخصيّة وعدالة المترجم له أو ذكره ضمن سياق قصّة تاريخية، ومع ذلك يستثنى بعض كتب الطبقات التي رتّبت على الأنساب كطبقات ابن الخيّاط أو اعتني فيها بالأنساب عناية فائقة كطبقات ابن سعد. 


“Sumber-sumber yang tidak bertujuan membahas nasab: yaitu kitab-kitab biografi dan sejarah. Sumber-sumber ini tidak bertujuan untuk meneliti nasab, tetapi hanya sekedar mencakup sisi-sisi kepribadian tokoh yang disebutkan biografinya, keadilan tokoh tersebut, atau hanya menyebutkan tokoh yang tercakup di dalam kisah sejarah. Meski demikian, terdapat pengecualian, yaitu beberapa kitab-kitab Thobaqot yang diurutkan sesuai dengan nasab seperti Thobaqot Ibnul Khoyyath, atau kitab thobaqot yang mengkaji nasab dengan kajian yang lebih, seperti: kitab Thobaqot Ibnu Sa’ad”. [al Kafil Muntakhob, hal 111] 


Maka keterangan ini menunjukkan bahwa ketika sebuah nasab ditemukan di dalam kitab-kitab sejarah, maka belum tentu nasab tesebut adalah nasab yang shahih, tetapi harus diuji terlebih dahulu, apakah penulisnya termasuk dalam kategori tokoh yang memiliki perhatian khusus dalam kajian nasab, jika iya, maka bisa materinya bisa menjadi hujjah. Tetapi jika tidak termasuk, maka penelitian mengenai nasab tersebut memerlukan kajian yang mendalam. 


Antara Kaidah Itsbat dan Nafi dalam Nasab 


Sering kali disebut-sebut kaidah antara nafi dan itsbat mana yang didahulukan ? Abdurrahman al Qoroja menjawab permasalahan ini dengan: “yang didahulukan adalah yang  memiliki hujjah yang terkuat, dan yang memiliki poin-poin prioritas dalam menerima nasab, yaitu: prioritas dalam masa, tempat, pengetahuan (tentang tokoh yang akan ditetapkan nasabnya), dan keadilan.” [al Kafi al Muntakhob, hal 130]. Poin-poin itu sudah saya jelaskan di dalam vidio saya di link berikut: https://www.youtube.com/watch?v=0D49vGM-O-4&t=885s silahkan simak saja penjelasannya. 


Maka dalam permasalahan ini tidak ada kaidah yang pasti mengenai mana yang lebih didahulukan, tetapi yang didahulukan adalah yang memiliki hujjah dan argumentasi yang terkuat di antara keduanya.


Nama Ubaidillah Tidak Disebut Di Dalam Kitab-Kitab Nasab Bukan Berarti Tidak Ada? Apakah Tetap dibutuhkan Data Sezaman?


Habib Hatim bin Muhammad al Jufri di dalam “As Saadah Al Alawi Al Uraidhiyyun al Husainiyyun” hal 119 dengan mengutip dari al Kattani mengatakan: 


واعلم أن عدم ذكر نسب أو فخذ في كتاب لا يقضى بعدم وجوده ولو بجزم صاحب الكتاب إلّا إذا عدم وجوده عند الكتب المعتمدة الأخرى في الفن. 


“ketahuilah bahwa tidak disebutnya sebuah nasab atau pangkal nasab di dalam kitab itu tidak bisa dihukumi akan ketiadaan nasab tersebut, meskipun seorang penulis kitab sudah memastikannya, kecuali ketika wujud nasab (nama) tersebut sama sekali tidak ditemukan di dalam kitab-kitab nasab otentik yang lain.” 


Pertanyaannya: apakah nama Ubaidillah ditemukan di dalam kitab-kitab nasab yang otentik? padahal sudah lewat 550 tahun semenjak kewafatan Ahmad bin Isa. Maka di sini betapa pentingnya data sezaman, agar mengetahui kebenaran Ubaidillah sebagai putra Ahmad bin Isa. 


Data sezaman dibutuhkan; karena ilmu nasab adalah bagian dari ilmu sejarah. Dalam menguji sebuah kejadian tentu membutuhkan data yang semasa dengan kejadian tersebut. Agar dapat dinilai seberapa jauh kebenaran dari kejadian tersebut. Begitu pula dengan meneliti sebuah nasab, khususnya nasab Baalawi, jika ingin menguji ketersambungannya kepada Rasulullah saw maka yang dilakukan oleh seorang peneliti adalah sebagai berikut: 


Mengkaji silsilah yang sedang dikaji dengan kajian nasab yang murni yeng  memiliki beberapa tahapan: (a) tahrirun nasab “menguji nasab” dengan meniliti nama-nama dalam silsilah itu satu persatu. (b) menghitung setiap generasi di dalam silsilah nasab dari sisi kelahiran dan kewafatan masing-masing generasi dari buku-buku sejarah. (c) melakukan muqobalah (komparasi) dengan nasab-nasab yang lain dari sumber-sumber kitab nasab yang otentik.

Mengkaji silsilah nasab dengan kajian sejarah murni, yaitu dengan menyodorkan silsilah nasab tersebut sesuai dengan perjalanan sejarah, memperhatikan nasab-nasab itu apakah sinkron dengan sejarah yang ada dari masa ke masa atau tidak.

Mengkaji nasab dengan kajian geografis, artinya menelusuri masing-masing generasi secara geografi di dalam peta suatu daerah atau tempat, mengetahui perpindahan generasi-generasi itu dari satu tempat ke tempat yang lain, dan mengetahui kapan terjadinya perpindahan itu. Tentu jika silsilah asli maka akan meninggalkan pengaruh tabiat kepada masyarakat di tempat yang dijadikan tempat tinggal. Dan jika tidak ditemukan pengaruhnya, maka silsilah tersebut terindikasi palsu; karena tidak memiliki bukti ketika ditelusuri. Dan ini merupakan bukti terkuat dalam kepalsuan nasab. 

Mengkaji silsilah dalam sudut pandang ilmu sosiologi, yaitu dengan mengkaji pemikiran, idiologi, dan psikologi. Nasab yang shohih dapat ditemukan tanda-tanda kebenarannya di ujung nasab, dapat ditemukan juga pada bagian tengah dan bagian yang bawah, rantai kebenarannya dapat ditemukan di generasi yang awal, di tengah dan di akhir. 

Tidak mencukupkan diri dengan 4 poin di atas, tetapi penelitiannya harus lebih mendalam lagi dengan tujuan lebih memastikan lagi kebenaran dan ketersambungan dari satu generasi kepada generasi yang lain. [Husain Haidar al Hasyimi, Rosail fi Ilmil Ansab, hal 183-186] 

Maka proses ini sudah bisa difahami betapa pentingnya data sezaman, untuk mengkonfirmasi akan ketersambungan antara satu generasi dengan generasi selanjutnya. Apalagi dalam mengkaji sebuah nasab yang diklaim sebagai nasab yang paling shohih sedunia. Karena banyak klaim yang menyatakan dengan jelas bahwa nasab Baalawi adalah nasab yang paling shohih sedunia, bahkan nasab yang disepakati oleh seluruh ulama sedunia. Tetapi jika ditelusuri, misalnya: Muhammad bin Ali Ba alawi Shahib Mirbath (w. 552 H) dikatakan sebagai ulama yang pertama kali menyebarkan ilmu fiqih di kota Mirbath (Dhofar Qodim). Mari kita telusuri apakah tokoh tersebut yang merupakan generasi ke 6 dari Ubaidillah. Di dalam kitab Thobaqot Ibnu Samuroh (w. 587 H) ketika menyebutkan tokoh-tokoh ahli fiqih di kota Mirbat, ternyata tidak ditemukan sama sekali nama Muhammad Shahib Mirbat Ba alawi, apalagi sebagai seorang ulama besar, apalagi seorang imam, apalagi sebagai seorang tokoh besar yang menyebarkan ilmu fiqih di sana. Tapi yang ditemukan malah Muhammad bin Ali Al Qol’i [lihat: Ibnu Samuroh, Thobaqot Fuqoha al Yaman, hal 220] bahkan tidak hanya Ibnu Samuroh yang menyebutkannya, bahkan Tajuddin Ibnu Subki pun menyebutkan biografi Muhammad bin Ali Al Qol’i. Hal yang serupa juga dapat ditemui di dalam kitab As Suluk (1/454) karya Baha’uddin al Janadi (w. 732 H). Tentu jika diperhatikan bahwa zaman Al Janadi itu lebih dari 200 tahun setelah kewafatan Muhammad bin Ali Shahib Mirbath Baalawi. Dia tidak mengkonfirmasi keberadaan Shahib Mirbat, tetapi hanya mengkonfirmasi Muhammad bin Ali Al Qol’i yang masih satu wilayah dengan Shahib Mirbath. Bahkan lebih dari itu, gelar Shahib Mirbath itu tidak terkonfirmasi sebagai gelar Muhammad Baalawi, tetapi itu merupakan gelar dari Muhammad bin Ahmad al Akhal al Manjawi (w. 600 an H), sebagaimana penuturan Ibnul Atsir. Maka disimpulkan bahwa Muhammad bin Ali Shohib Mirbath Ba alawi adalah tokoh yang fiktif, yang kemasyhurannya sebagai imam, ulama besar dan keilmuan yang menyebar ke segala penjuru adalah klaim yang tidak bisa dibuktikan di dalam kitab sejarah. Dan sebagaimana penuturan para ulama nasab, maka nasab yang berkriteria seperti ini adalah nasab yang terindikasi palsu. Ini baru satu nama, belum kepada nama-nama yang lain dari tokoh-tokoh ba alawi. 


Maka, Kiai Fahrur harus kembali mengkaji kitab-kitab dalam ilmu nasab, metode yang digunakan dalam ilmu nasab, serta bagaimana hubungan yang kuat antara ilmu nasab dengan ilmu sejarah. Agar tidak bersembunyi di balik dalih “syuhroh dan istifadhoh” yang disebutkan oleh para pakar fiqih dan dalih tidak dibutuhkannya data sezaman. 


Cinangka, 7 Desember 2023. 


Paling Banyak Dilihat

BIOGRAFI

Mudahnya Melontarkan Tuduhan Demi Membela Polemik Nasab Ba Alwi

BY ADMIN 8 JANUARI 2024 0

Sebuah artikel yang ditulis oleh seorang yang mengaku cendekiawan yang dimuat dibeberapa website dengan judul “Stop Rasisme Nasab”. Yang menurut...

©2021 RMI PWNU Banten | rminubanten.or.id.


[10/1 12.35] SUHU PSPB RONGGOLAWEZ21: 

https://www.ngopibareng.id/read/mengakhiri-polemik-nasab-ba-alawi

Mengakhiri Polemik Nasab Ba Alawi

Ahmad Fahrur Rozi

Selasa, 04 Juli 2023 19:54 WIB

Ilustrasi perjalanan keturunan Rasulullah, Baalwi. (istimewa)

Ilustrasi perjalanan keturunan Rasulullah, Baalwi. (istimewa)

Oleh Dr. KH. Ahmad Fahrur Rozi


(Ketua PBNU bidang keagamaan)


Pendahuluan. Al-Faqir sudah mengikuti polemik nasab Bani Alawi di medsos dan membaca tulisan Pak Imaduddin Utsman yang menyatakan nasab Banu Alawi kepada Rasulullah Saw adalah palsu dan terputus di seluruh dunia.


Menurut hemat penulis, klaim tersebut sangat prematur dan menjadi fitnah di masyarakat secara luas dan belum layak disebut sebagai kajian ilmiah, karena masih berupa review sejumlah buku tanpa mempertimbangkan keberadaan sumber lain yang lebih otoritatif dan studi di lapangan, hanya sebelumnya ada tulisan yang serupa dari seorang Wahabi bernama Murod Syukri dari Yordania di pertengahan era tahun 90 an dan sudah dibantah oleh para ulama.


Argumentasi Pak Imaduddin menolak nasab Bani Alawi pada intinya hanya soal tidak tercatat dalam kitab sezamannya. Hal ini tidak ada dasarnya secara ilmu fiqh. Karena syarat penetapan nasab dalam kitab fiqh empat madzhab cukup hanya syuhroh wal istifadloh di mana sudah jelas tertulis dalam berbagai manuskrip, kitab dan telah diakui oleh masyarakat setempat berdasarkan fenomena yang terjadi di zaman Rosulullah saw, bahwa para Sahabat RA menisbatkan diri mereka kepada kabilah-kabilah dan datuk-datuk mereka, meski demikian Rasulullah Saw tidak menuntut mereka untuk menghadirkan bukti-bukti atas kebenaran nasab tersebut, Rasulullah menjadikan informasi yang telah populer (Istifadhoh) secara turun temurun tentang keabsahan nasabnya sebagai patokan selama tak ada yang menganulirnya, dan berbagai hukumpun dibangun atas dasar ini.



KH Ahmad Fahrur Rozi (kiri) bersama sejumlah dari Timur Tengah. (Foto: dok/ngopibareng.id)

KH Ahmad Fahrur Rozi (kiri) bersama sejumlah dari Timur Tengah. (Foto: dok/ngopibareng.id)

Baca juga


Berharap hanya kepada Allah Ta'ala. (Ilustrasi)

Cukup Allah Saja, Lelucon Indonesia Tanah yang Suci


Presiden Joko Widodo dan perwakilan IMF. (Foto: setpres)

IMF, Jangan Dikte Indonesia!


PENETAPAN NASAB DALAM SYARI'AT ISLAM .

Nabi Muhammad SAW mengakui penetapan nasab hanya berdasarkan pengakuan seseorang dari kabilah apa tanpa menanyakan saksi dan bukti catatan nasab mereka keatasnya, sebagaimana dinyatakan Imam Malik RA :


الناس مؤتمنون على أنسابهم


"Bahwa Manusia itu dipercaya atas pengakuan nasabnya"


Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari bahwa Nabi Muhammad SAW pernah menerima dengan baik utusan Bani Abul Qais yg mengaku sebagian cucu klan Robi'ah tanpa bertanya dalil dan saksi nasab nya


حدثنا علي بن الجعد قال أخبرنا شعبة عن أبي جمرة قال كنت أقعد مع ابن عباس يجلسني على سريره فقال أقم عندي حتى أجعل لك سهما من مالي فأقمت معه شهرين ثم قال إن وفد عبد القيس لما أتوا النبي صلى الله عليه وسلم قال من القوم أو من الوفد قالوا ربيعة قال مرحبا بالقوم أو بالوفد غير خزايا ولا ندامى فقالوا يا رسول الله إنا لا نستطيع أن نأتيك إلا في الشهر الحرام وبيننا وبينك هذا الحي من كفار مضر فمرنا بأمر فصل نخبر به من وراءنا وندخل به الجنة وسألوه عن الأشربة فأمرهم بأربع ونهاهم عن أربع أمرهم بالإيمان بالله وحده قال أتدرون ما الإيمان بالله وحده قالوا الله ورسوله أعلم قال شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وصيام رمضان وأن تعطوا من المغنم الخمس ونهاهم عن أربع عن الحنتم والدباء والنقير والمزفت وربما قال المقير وقال احفظوهن وأخبروا بهن من وراءكم



Meskupun antara kedatangan Wafdu (delegasi) keturunan Abdil Qays Bin Afshoh dari negara Bahrain yang merupakan cicit dari Kabilah Rabiah, salah satu pokok kabilah Arab yang bernasab kepada Rabiah bin Nizar bin Adnan , jaraknya mereka ke era Nabi Muhammad SAW adalah hampir 500 tahun. (Lihat kitab Fathul Bari juz 12 hal 184).


Jika mamakai teori bahwa nasab harus dicatat kitab sezamannya, maka Nasab Baginda Nabi Muhammad ‎ﷺ kepada Nabi Ismail bin Nabi Ibrahim Alahimassalam juga sangat bisa diperdebatkan oleh para Ulama disebabkan tidak adanya referensi manuskrip atau kitab se-kurun yang menyebutkan keberadaan mereka.


Nasab-nasab yang tercatat oleh para Ulama ahli sejarah di masa lalu hanyalah berdasarkan riwayat dari hafalan uang diucapkan lisan ke lisan oleh para tsiqoh dari bangsa Arab, jika ada beberapa nama yang tertulis di kalangan mereka dengan menyebut nasab maksimal hanya empat generasi, tentu banyak sekali nasab yang tidak tercatat oleh mereka. Allah SWT berfirman dalam Alquran yang menyatakan bahwa ada kurun yang hanya diketahui oleh Allah dan tidak diketahui oleh selainNya:



﴿وَقُرونًا بَينَ ذٰلِكَ كَثيرًا﴾ [الفرقان:38]


﴿أَلَم يَأتِكُم نَبَؤُا۟ الَّذينَ مِن قَبلِكُم قَومِ نوحٍ وَعادٍ وَثَمودَ وَالَّذينَ مِن بَعدِهِم لا يَعلَمُهُم إِلَّا اللَّهُ﴾ [ابراهيم:9]


Jika seandainya nasab Rasulullah ‎ﷺ yang bersambung ke Nabi Ibrahim diragukan karena alasan tidak diketahui atau tidak dicatat, maka runtuhlah kebenaran pengakuan kanjeng Nabi Muhammad Saw yang selalu menisbatkan dirinya kepada Nabi Ibrahim seperti contoh dalam Hadits shahih:


‎ولد لي الليلة غلام فسميته باسم أبي إبراهيم


“Tadi malam anakku lahir, maka aku beri nama dia dengan nama ayahku, Ibrahim”.


Begitu juga runtuhlah dalil Alquran yang mengatakan bahwa:


﴿فيهِ ءايٰتٌ بَيِّنٰتٌ مَقامُ إِبرٰهيمَ﴾ [آل عمران:97]


Yakni bahwa Ka'bah adalah bangunan Nabi Ibrahim, sebab lagi-lagi tidak ada bukti tertulis manuskrip kuno selain kabar dari mulut ke mulut, dengan fakta sejarah jarak zaman Nabi Muhammad dengan Nabi Ibrahim adalah sekitar 2500 tahun.


Secara ilmu fiqh telah diatur bahwa cara pengakuan nasab adalah dengan syuhrah wal istifadhah yakni telah terkenal secara luas dalam masyarakat di sebuah wilayah bahwa si Fulan adalah keturunan si Fulan tanpa ada bantahan dan sanggahan dari ulama yang otoritatif yang dibenarkan secara syariah , sebagaimana disebutkan dalam kitab Mughni Al Muhtaj juz 6 halaman 377, Nihayatul Matlab juz 18 halaman 613, Fathul Bari juz 5 halaman 254, Al Hawi Al Kabir juz 17 halaman 35, Al Mughni Ibnu Qudamah juz 10 halaman 141.


Baca juga


15 Hal Penting soal Kerusakan, Wasiat Sayidina Ali bin Abi Thalib


Cukup Allah Saja, Lelucon Indonesia Tanah yang Suci


FAKTA SEJARAH KITAB HADITS

Satu abad setelah nabi wafat tidak ada catatan atau manuskrip penulisan hadits dan baru dilakukan di abad setelahnya karena takut tercampur dengan Al-Qur'an. Apakah lalu itu berarti kitab hadits yang di tulis di abad berikutnya adalah palsu dan tidak bisa dibenarkan?


Penulisan hadis baru dilakukan pada abad ke 2, diabad ke-2 H baru dikenal beberapa orang penghimpun dan penulis hadis. Di antaranya Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij di Makkah, Malik bin Anas atau Imam Malik dan Muhammad bin Ishak di Madinah, ar-Rabi bin Sabih, Sa’id bin Urubah, dan Hammad bin Salamah bin Dinar al-Basri di Basra, Sufyan as-Sauri di Kufah, Ma’mar bin Rasyid di Yaman, Abdur Rahman bin Amr al-Auza’i di Syam (Suriah), Abdullah bin al-Mubarak di Khurasan (Iran), Hasyim bin Basyir di Wasit (Irak), Jarir bin Abdul Hamid di Rayy (Iran), dan Abdullah bin Wahhab di Mesir.


Menyusul kemudian muncul Imam Bukhari yang lahir di Bukhara, 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M) dan wafat di Khartank, 1 Syawal 256 H (1 September 870 M). Kitab Shohih Bukhori diakui sebagai kitab hadits paling shohih setelah Al-Qur'an di atas muka bumi ini dilanjutkan Kitab Jami sahih Imam Muslim, Setelah dibukukan Kitab hadis Bukhari dan Muslim , ternyata masih ada hadist sahih sesuai standar ilmu hadist Imam Bukhori dan Muslim yang dirangkum dalam mustadrak oleh Imam Hakim. Apakah itu tidak boleh disebut kumpulan sahih karena tidak ada dan tidak ditulis di zaman Imam Bukhari Muslim?


PERIHAL NASAB BA ALAWI

Sebetulnya banyak sekali di antara ahli nasab dan sejarawan yang telah menulis dan menetapkan nasab moyang marga Ba Alawi, diantara mereka adalah:


1. Imam Bahauddin Al-Janadi, Muhammad bin Yusuf Al-Yamani (w 730an H) -beliau tokoh muktamad perihal nasab- menyebut dalam kitab: “As-Suluk fi Tabaqat Al-Ulama wal Muluk” Juz 2 Hal 135-136.


2. Imam Ibn Tabataba, Yahya bin Muhammad bin Alqasim, (w 478 H) dalam kitab: “Abna’ al-Imam fi Misr was Syam” Hal 167.


3. Imam Ibnu Inabah Jamaluddin Ahmad bin Ali bin Husain Al-Hasani As-Syi’iy As-Syahiir (w 820 H), dalam kitab: “Umdatuttalib fi Ansabi Abi Talib” hal 225.


4. Sayyid Muhammad Al-Kadzim, ibn Abil Futuh bin Sulaiman Al-Yamani Al-Musawi, (w 880 H) dalam kitab An-Nafhah Al-Anbariyah.


5. Imam Al-Amidi An-Najfi, Muhammad bin Ahmad bin Amiduddin Al-Husaini An-Nassabah (w 927 H), dalam kitab Al-Musyajjar Al-Kassyaf hal 52 (dalam manuskripnya, sebagaimana dituturkan Hamzah Al-Kattani dalam As-Summ Az-Zu’af)


6. Imam Murtadla Az-Zabidi, Muhammad bin Muhammad Al Husaini, pensyarah Ihya’ Ulumiddin (w 1205 H) dalam tahqiqannya atas Al-Musyajjar tersebut.


7. Imam Syamsuddin As-Sakhawi, Abul Khair Muhammad bin Abdurrahman (w 902), menyebut dalam kitab: “Ad-Dlau’ Al-Lami” Juz 5 Hal 59.


Dan masih banyak lagi ulama lainnya seperti Imam Ibn Hajar Al-Haitami (w 974 H), Ibn Syadzqam (1080an ) Sirojuddin Ar-Rifa’i (w 885 H), Al-Muhibbi (w 1111 Abu Alamah Al-Muayyadi (w 1044 H) Muhammad Zabarah (w 1381 H), Murtadla Az-Zabidi 1205 H), Abu Salim Al-Ayasyi ( w 1090 H), Al-Ahdal (w 903 H), Ibn Al-Muhib At-Thabari (w 117 H), Abul Fadl Al-Muradi (w 1206 H), Abd Bawazir Yahya Hamiduddin (w 194 M), An-Nabha (w 1350 H), Abdu Al-Ghazi (w Abad 13an) Abdul Hafidz Al-Fasi ( 1383 H), Ibn Hassan (w 8 H) dan yang lain yang telah bersaksi bahwasanya nasab dan hubungan mereka kepada Baginda Nabi Muhammad itu shohih .


Soal keberadaan nama anak Sayyid Ahmad bin Isa yang bernama Abdullah/Ubaidillah yang tidak disebutkan dalam kitab As-syajarah mubarakah Imam Fahrur Rozi itu bukan dalil yang kuat, karena kitab tersebut hanyalah kitab ringkasan yang tidak bisa memuat semua nasab manusia se dunia dan tidak ada kata penafian sama sekali, dan tidak menyebutkan itu sama sekali bukan berarti tidak ada,


Penggunaan kitab As Syajarah Al mubarokah Imam Fahrur Rozi untuk menafikan nasab Bani Alawi justru ditentang oleh As-Sayyid Mahdi ar-Roja’i , Ulama syiah ahli nasab asal Qum yang mentahqiq kitab as-Syajaroh al-Mubarokah yang dijadikan rujukan oleh pak Imaduddin, dalam kitabnya al-Mu’qibun min Aal Abi Thalib beliau menyebutkan sosok Ubaidllah sebagai putra Ahmad bin Isa yang ikut hijrah bersama ayahnya ke Hadhramaut, serta memilki anak Jadid, Bashri dan Alawi, yang mana keturunan Alawi tersebar di berbagai belahan dunia.


Bahkan guru dari Sayyid Mahdi ar-Roja’i yang menemukan manuskrip as-Syajarah al-Mubarakah, yaitu Ayatullah Mar’asyi yang merupakan Nassabah dari kalangan Syiah, juga mengakui dengan jelas keabsahan nasab Baalawi sebagai Asyrof keturunan Rosullah SAW. Artinya penemu manuskrip as-Syajarah al-Mubarokah dan pentahqiqnya pun tidak pernah memahami isi kitab as-Syajarah al-Mubarokah terkait keturunan Ahmad bin Isa sebagaimana yang difahami pak Imaduddin yang menafikan nasab Ba Alawi. Bahkan mereka mengeluarkan surat resmi yang isinya mengklarifikasi kesahihan nasab Ba Alawi.


Penulisan ulama yang menetapkan nasab Bani Alawi di berbagai naskah kitabnya tentu bukanlah pendapat pribadi ataupun hasil ijtihad sebab urusan nasab bukan urusan pendapat atau ijtihadi. Penisbatan itu tidak lain merupakan hasil verifikasi yang murni berpijak kepada data-data sebelumnya baik melalui sumber tertulis atau sumber yang tidak tertulis misalnya hafalan lisan, hal ini berlaku sepanjang zaman bahwa nasab menjadi catatan tersendiri bagi anak keturunan mereka yang diwariskan dari hafalan lisan ke lisan.


Baca juga


Tiga Fakta Kota Paris, Nahel Dibunuh Polisi Kobarkan Kerusuhan


Kapitalisme Meniduri Kelas Pekerja, saat Suami Tolak Bantu Istri


PENISBATAN NASAB BA ALAWI HARI INI.

Sudah diakui para ahli nasab dunia dan ditulis dalam berbagai kitab tentang kesahihan nasab Bani Alawi, lalu apa karena seseorang tidak bisa menjangkau sumber data para Ulama tersebut kemudian kita mau ikuti dan menganggap itu semua tidak ada dan tidak mu’tabar?


Kalau memang Sayyid Ahmad bin Isa tidak punya anak bernama Abdullah/Ubaidillah, kemana saja para Ulama ahli nasab selama beradab-abad tidak ada satupun yang menafikan justru yang banyak malah meng-itsbatkan?


Apakah selama lebih dari 1000 tahun lebih baru ada Mujtahid bernama Imaduddin dari Banten dan sebelumnya ada seorang wahabi dari Jordania yang bernama Murad Syukri di pertengahan tahun 1990an Masehi yang baru cerdas, ngerti dan sadar akan hal ini?


Kemarin penulis sudah posting 47 judul kitab yang menulis nasab Bani Alawi di group WAG BM Nusantara dan semua menurut mereka para pembenci bani Alawi semua kitab itu hanya bohong dan palsu karena tidak sezamannya.


Bagaimana bisa ribuan tahun ada kebohongan para ulama yang rapi terpublikasi sedemikian rapi tanpa bantahan padahal semua ulama tahu bahwa penisbatan nasab palsu pada Rasulullah adalah dosa besar dan perbuatan terlaknat? Hal ini disebut dalam sebuah hadits Sahih Bukhari juz 4 halaman 120 yang isinya tidaklah seseorang mengaku-ngaku sebagai keturunan selain ayahnya. Sedangkan dia mengetahui itu terkecuali dia melakukan kekufuran ( dosa besar ), dan siapa yang mengaku-ngaku sebagai bagian dari sebuah kaum/kabilah padahal ia bukan bagian dari kabilah tersebut maka bersiaplah tempatnya di neraka.


PENUTUP.

Para Aulia dan Ulama NU sejak zaman dahulu seperti KH Hasyim ‘Asy’ari, KH Kholil Bangkalan, KH Hasan Genggong, KH Abdurrahman Wahid, KH Abdul Hamid Pasuruan, KH Abdullah bin Nuh, KH As’ad Syamsul Arifin, KH Mas Soebadar, KH Idris Marzuqi Lirboyo, KH Muhammad Zaini Abdul Ghoni (Guru Sekumpul), KH Maemoen Zubair, serta para Ulama dan Aulia’ lainnya mengakui keabsahan nasab Habaib Baalawi sebagai Dzurriyyah Nabi Muhammad SAW dan saling menghormati satu sama lainnya.


Maka sangat bijak apabila kita sebagai warga NU saat ini menahan diri untuk tidak ikut berpolemik, kita ikuti saja statement Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf yang menyatakan bahwa nasab Ba Alawi dan para kiai dzurriyah Walisongo adalah sah tersambung kepada Rasulullah SAW tanpa perlu lagi diperdebatkan.


Jangan kita ikut mencela nasab siapapun. Biarlah itu menjadi keyakinan masing-masing dengan Allah SWT yang maha tahu. Jika seumur hidup kita tidak pernah mencaci maki Firaun atau setan itu tidak berbahaya dan tidak berdosa. Namun bila kita membenci dan mencaci maki seseorang yang mungkin sesungguhnya dia benar di hadapan Allah SWT , itu sungguh berbahaya dan kelak kita akan menanggung dosanya di pengadilan Allah SWT.


Penulis berharap polemik ini harus segera diakhiri. Karena hanya menebar kebencian, melemahkan persatuan umat Islam dan rawan dijadikan lahan adu domba menjelang Pilpres 2024 mendatang. Mari kita jaga persatuan dan kesatuan serta suasana kondusif keamanan bangsa Indonesia .


Malang, 1 Juli 2023.


*Penulis adalah khadim Ponpes Annur 1 Bululawang Malang, Ketua PBNU bidang keagamaan, Ketua yayasan IAI Al Qolam Malang, Wasekjen MUI bidang fatwa.


Gus Fahrur bersama Prof. Ahmad Maeno, Ketua Japan Moslem Association. (Foto: dok/ngopibareng.id)

Tim Editor

Riadi

Video :

[10/1 12.37] SUHU PSPB RONGGOLAWEZ21: Dr. KH. Fahrur Rozy - Mengakhiri Polemik Nasab Ba'alawyy

https://youtu.be/iqfLTL-GwCI?si=TTPEwLxXvPM3FXK9


و الحمد لله رب العالمين

صلى الله على محمد

No comments:

Post a Comment