Kisah Nyi Marwiyah , Salah satu senopati putri dari Pangeran Diponegoro .......
Sejarah Mistis Alas Krendhawahana
Banyak
yang percaya, bahwa Kasunanan Surakarta Hadiningrat masih dilindungi
kekuatan gaib. Kekuatan itu ada di empat arah mata angin.
Untuk
wilayah Selatan dilindungi Kanjeng Ratu Kencanasari (Ratu Kidul) yang
beristanakan di Salokadomas (Pantai Selatan). Sebelah Barat dilindungi
Kanjeng Ratu Mas yang bersemayam di Gunung Merapi.
Wilayah
Timur dijaga Kanjeng Sunan Lawu dengan Keraton di Gunung Lawu. Dan
Utara dijaga Kanjeng Ratu Bathari Durga (Bathari Kalayuwati) dengan
istana di Alas Krendhawahana.
Meyakini
dijaga dan dilindungi oleh leluhur-leluhur gaib, maka setiap tahun
Keraton Kasunanan Surakarta mengadakan ritus. Memberi persembahan di
empat tempat itu.
Menurut
KRT Kalingga Hanggapura, Juru Penerang Keraton Surakarta, upacara
sesaji Mahesa Lawung yang diadakan setiap tahun itu sebagai bentuk
persembahan kepada Kanjeng Bathari Durga.
"Itu
karena Alas Krendhawahana sebagai tempat bersemayamnya Kanjeng Bathari
Kalayuwati. Tempat itu tetap disakralkan pihak keraton. Jadi, jika Alas
Krendhawahana sampai sekarang ini masih terasa angker dan keramat itu
logis," katanya.
Sementara
menurut Kusumo Tanoyo, Alas Krendhawahana ini dulu sering digunakan
untuk menaruh mayat. Mayat-mayat itu hanya diletakkan begitu saja hingga
bau tidak sedap menyebar kemana-mana dan menusuk hidung. Maka kala itu
banyak menthok datang untuk memakan bangkai.
"Karenanya,
tempat itu lantas diberi nama Setra Ganda Mayit (tanah yang berbau
mayat). Dan yang datang ke sini adalah Bathari Durga," jelas Kusumo
Tanoyo.
Kusumo
Tanoyo juga menuturkan, dari masalah rupa Kanjeng Bathari Durga
(Bathari Kalayuwati) yang semula amat jelita. Karena melakukan
perselingkuhan, dia menjelma menjadi raseksi (raksasa perempuan) yang
wajahnya amat menyeramkan. Dia memutuskan untuk tinggal di Setra Ganda
Mayit membawahi para lelembut dan siluman.
Tidak
jauh dari Punden Bathari Durga di bawah pohon beringin besar yang biasa
digunakan sebagai tempat pelaksanaan sesaji Mahesa Lawung, terdapat
sendang (sumur) Sihna dan Batu Gilang Selakandha Waru Binangun.
Kedua-keduanya diyakini sebagai sebuah tempat keramat dan angker.
Menurut
Wiryo Dimejo, sendang Sihna ini dulu merupakan tempat pesiraman (mandi)
dari Sri Susuhunan Pakoe Boewana VI sampai Pakoe Boewana X, ketika
sedang berada di Alas Krendhawahana. "Dan di tempat inilah Pangeran
Bangun Tapa (Pakoe Boewana VI) pernah mendapatkan wahyu," katanya.
Karena
kekeramatan sendang Sihna ini, lanjut Wiryo Dimejo, sampai sekarang
banyak didatangi orang dari berbagai pelosok daerah untuk mengambil
airnya. Ada kepercayaan yang berkembang, air sendang Sihna itu bisa
digunakan penawar berbagai jenis penyakit. Selain dipercaya bisa membuat
awet muda.
Tentang
sendang (sumur) Sihna yang sampai sekarang masih dikeramatkan itu,
Kusumo Tanoyo menjelaskan, bahwa tempat itu sudah tersirat dalam Serat
Sudamala. "Afdolnya, air sendang Sihna itu digunakan untuk kaum wanita.
Lebih-lebih bagi mereka yang sedang mempunyai masalah," ujarnya.
Begitu
juga dengan Batu Gilang Selakandha Waru Binangun, yang letaknya hanya
15 meter dari sendang Sihna. Sampai sekarang batu itu dipercaya masih
amat keramat dan angker. Di tempat ini banyak orang melakukan berbagai
panuwunan (permintaan).
Menurut
Kalingga, batu gilang itu semula digunakan oleh Pakoe Boewana VI,
Pangeran Diponegoro, dan RT Prawiro Digdoyo (Bupati Gagatan). Juga para
senapati perang melakukan pertemuan rahasia guna mengatur siasat atau
strategi menghadapi penjajah Belanda.
Karena selalu diikuti mata-mata Belanda, akhirnya Pakoe Boewana VI mengelabuhi dengan alasan berburu di Alas Krendhawahana.
Tentang
Batu Gilang Selakandha Waru Binangun, menurut Kusumo Tanoyo, semula
letak batu itu memang tinggi. Namun setelah batu itu dibuatkan pagar
oleh R.Ay Sumirah dari Trah Kedung Gubah tahun 1978, maka letak batu
gilang itu ambles. Sekarang nyaris rata dengan tanah dan posisinya
miring.
ijelaskan
Kusumo Tanoyo, pertemuan rahasia antara Pakoe Boewana VI, Pangeran
Diponegoro, dan RT Prawiro Digdoyo di batu gilang itu akhirnya
melahirkan dua senapati perang wanita. Dia adalah Dewi Mariyah dan Dewi
Marwiyah.
"Dewi
Marwiyah akhirnya gugur dalam peperangan saat naik kuda dan melompati
sungai yang sekarang dikenal sebagai Kedung Gubah di daerah Ceper,
Klaten. Jasadnya dimakamkan di Desa Makamhaji, Kecamatan Kartasura,
Kabupaten Sukoharjo,"